2. Woro - woro

2K 258 723
                                    

*Tahun 0004, bulan 01, hari 07, pukul 18.15 Waktu Negeri Timur.

Desa Rawagaru di waktu magrib.

Pak Sadun, seorang laki-laki kurus dengan usia 54 tahun, duduk bersandar di kursi rotan di pelataran rumahnya yang sederhana, melepas lelah setelah seharian mengumpulkan dan mengangkut kayu bakar untuk dijual besok pagi di pasar.

Menikmati pemandangan senja di desa, terasa sangat harmonis sambil memakan singkong goreng, ditemani segelas kopi panas buatan istrinya. Hal sederhana seperti itu sudah cukup membuatnya bahagia, mungkin dia bisa tertidur di situ sampai subuh.

"Mau mandi kapan, Pak? Itu airnya keburu dingin, mau berapa kali lagi dipanaskan?" teriak bu Sadun, istrinya yang tiba-tiba sudah muncul di pintu. Berbeda dengan suaminya, Bu Sadun dengan usia 50 tahun, bertubuh lebih gemuk dan lebih pendek dari Pak Sadun.

"Nanti saja bu," jawab Pak Sadun malas-malasan, suasana harmonis yang dia rasakan seketika berantakan, terpaksa dia harus menciptakan momen yang harmonis kembali.

"Nanti kapan? Dari tadi nanti? Nanti? Itu sekalian biar tungkunya tetap nyala, irit kayu bakar tau!" omel Bu Sadun.

"Huhh! Iya! Ini aku mandi sekarang, bawel!" jawab Pak Sadun jengkel, beranjak dari tempat duduknya, melewati istrinya di pintu lalu masuk ke dalam rumah menuju dapur, mematikan api di tungku dan mengambil air panas dibawanya ke kamar mandi. Pak Sadun masih sempat bersenandung menciptakan momen harmonis sebelum mandi.

Dari pintu Bu Sadun tak kalah garang menatap suaminya biar lekas mandi.

Setelah memastikan suaminya masuk kamar mandi, Bu Sadun berniat mengemasi makanan dan kopi sisa suaminya, ketika tiba-tiba terdengar suara bersahutan.

Teng ... teng ... teng ... teng ... teng ... teng.

Terdengar suara pukulan besi memenuhi kampung, tanda panggilan agar warga berkumpul, telah terjadi sesuatu yang penting dan luar biasa di desa.

"Pak! Pak! Tunggu! Jangan mandi dulu!" teriak Bu Sadun.

Di kamar mandi, Pak Sadun yang sedang bersenandung dengan penuh penghayatan berhenti, sebal karena konsentrasinya buyar kembali.

"Ada apa lagi sih, Bu? Hancur sudah nuansa harmonisku," Pak Sadun sewot.

"Itu ada suara kentongan, Pak coba kita tengok dulu siapa tau ada berita penting!" jawab Bu Sadun.

"Lahh, paling Si Gombel maling sapi lagi, nanti juga ketemu..."

"... dia itu tidak pintar kalau maling, bawa kabur sapi kok ke sungai? Ya susah lah! Mbok cerdas sedikit bawa lewat jalan kampung ... kan lebih mudah," ejek Pak Sadun yang merasa lebih berpengalaman menghadapi medan di desa.

"Kamu itu sama koplaknya pak, ayok ke balai desa! kita lihat ada info apa?" paksa bu Sadun sambil mencari kerudungnya, lalu segera beranjak keluar.

Pak Sadun tak jadi mandi, untung belum buka pakaian dan menyusul istrinya ke luar rumah.

"Lho Pak?" ucap Bu Sadun kaget melihat suaminya sudah berjalan di sampingnya.

"Apalagi Bu? Tadi katanya suruh ke balai desa? Lupa? Udah tua ya pikun begitu," Pak Sadun menemukan momen yang pas untuk balas mengomel.

"Kamu itu yang lupa! Kamu itu yang udah tua bin pikun! Itu kenapa pintu rumah ngga dikunci? Mau sodakoh biar rumah dimaling orang? Yang terakhir keluar ngunci pintu!" omel Bu Sadun.

Pak Sadun menepuk jidat, terlupa, lalu kembali untuk mengunci rumah dan mengikhlaskan hati menerima omelan dari istrinya lagi. Ketika sudah mengunci pintu, Pak Sadun celingukan mencari sang istri, yang ternyata sudah berjalan duluan ke arah balai desa, tidak menunggu dirinya. Sungguh tega.

Pencari ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang