10. Surat

1.2K 176 533
                                    

*Tahun 0004, bulan 01, hari 12, pukul 16.00 Waktu Negeri Timur.

Hutan Karangpucung, perbatasan menuju Desa Gumilir.

Widi telah berlari menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer dalam tempo sekejap. Tanpa merasa lelah, dan kakinya yang tertusuk pecahan kerang sebelumnya, sama sekali tidak terasa sakit. Kakinya terasa begitu ringan, seperti melayang di udara. Widi begitu takjub dengan kemampuannya, semua berkat kain Wewe. Kalau begitu dia bisa pergi ke sekolah dengan cepat, tak perlu buru-buru bangun pagi, Widi membayangkannya dengan senang. Tiba-tiba.

Gabruukkkkk!

"Aduhhhhh!" Widi terjungkal berguling di tanah, kakinya menabrak sebuah benda keras. Kaki kanannya lagi yang kena, tampak memar di sekitar ibu jari, padahal kaki yang sama belum begitu sembuh dari luka yang sebelumnya.

Widi memperhatikan apa yang ditabraknya barusan. Sebuah batu hitam seukuran bola sepak. Di sebuah hutan ada batu seukuran itu, terlihat tidak wajar. Akan terlihat wajar bila batu itu dijumpai di pinggiran sungai atau di lereng gunung, tapi bukan di hutan ini.

Widi mendekat penasaran melihat batu itu, "batu sialan!" Widi mengumpat, lalu berpaling untuk melanjutkan perjalanan kembali.

"Manusia sialan!"

Widi kaget ... dia tidak salah dengar, Widi melihat sekeliling.
"Siapa itu?"

"Di sini bodoh!" terdengar suara kembali.

Widi segera menoleh ke arah sumber suara, tidak salah lagi dari batu itu. Sebuah bola mata berwarna merah tampak berkedip dan menatap Widi, kemudian menampakan gigi-gigi taring menyeringai tersenyum kepadanya, itu bukan lagi batu, tapi sebuah kepala.

"Arrggggggggghhhhhhh ... Gundul Pringis!" teriak Widi segera berpaling dan berlari kabur.

"Hahahahahaha ... " si Gundul tertawa.

Widi berlari melesat, tapi suara tawa Gundul tidak semakin menjauh, tapi tetap ada di dekatnya. Padahal Widi yakin sudah berlari menjauh, karena penasaran Widi berhenti, dia memberanikan diri menoleh ke belakang.

Ada 4 kepala, tergeletak di tanah.

"Widiiiiiii ..." salah satu kepala bersuara, wajahnya seperti Eno, lebih tepatnya itu memang kepala Eno, dilihatnya kepala yang lain, ada kepala Andri, kepala Juwito dan Kepala Nopik, mereka semua tersenyum menyeringai dan menatapnya.

"Widiiiii!" mereka memanggil namanya bersamaan.

Widi memegang kepalanya sendiri, tak percaya dengan apa yang dia lihat, Widi hampir menangis ketakutan, lalu di belakangnya makhluk-makhluk lain mulai bermunculan dari balik bayang-bayang pohon.

Beberapa ekor Lipan berwarna orange, sebesar batang pohon kelapa tampak muncul dari tanah, kaki-kakinya menyala seperti api, datang mendekat ke arah Widi, Lipan itu memiliki kepala manusia dengan wajah menyeramkan, memiliki 3 pasang mata di kanan-kiri, gigi seperti capit dan air liur menetes dari gigi dan lidah, mereka tampak kelaparan.
Widi belum pernah melihat makhluk seperti itu.

"Hihihihi ... hihihihi ... hihihihi ..." dari atas pohon juga muncul belasan wanita berbaju putih halus dan transparan, dari balik pakaian putih itu Widi bisa melihat pemandangan hutan, mereka tembus pandang, meliuk-liuk seperti asap, terbang melayang-layang, dengan muka keriput dan tertawa dengan gigi-gigi ompong namun juga bertaring. Widi menutup mata rapat-rapat, dia ketakutan.

Berikutnya datang hawa dingin mendekat ke arah Widi, seperti kabut berwarna ungu di daratan hutan. Belum tersentuh pun Widi sudah dapat merasakan energi kabut itu, membuat Widi segera membuka mata, tanah hutan di selimuti kabut dingin seperti es berwarna ungu, bulu kulitnya berdiri merinding merasakan energi kabut tersebut, perasaan tidak nyaman muncul.

Pencari ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang