39. Sisi Gelap

642 74 162
                                    

*Tahun 0004, bulan 01, hari 19, pukul 14.00 Waktu Negeri Timur.

Di lereng Gunung Slamet, kawasan Hutan Lindung.

Gombel duduk bersandar pada sebuah pohon, kepalanya tertunduk lesu.

'Apakah yang kulakukan ini benar?'

.....

Gombel teringat masa lalunya, masa kelam saat warga desa sedang dilanda keresahan karena maraknya kasus pencurian ternak. Tidak hanya terjadi di Desa Rawagaru, tetapi juga menimpa desa-desa yang lain di sekitar Hutan Lindung.

Warga sudah melapor kepada petugas police di kota, namun hingga berbulan-bulan tak kunjung ditemukan siapa pencurinya.

Semakin lama, masalah menjadi semakin akut, hingga membuat perubahan pada hati warga. Perlahan keramah-tamahan berganti menjadi sikap saling curiga, hingga suatu saat Gombel melihat sekelompok meninggalkan seekor sapi di sungai. Gombel bermaksud baik membawa sapi itu kembali ke desa, namun bukan ucapan terima kasih yang dia terima, tetapi dia malah dituduh sebagai maling sapi.

Tuduhan itu hanya berdasar kesaksian dari Pak Sadun yang melihat Gombel membawa sapi yang bukan miliknya. Gombel tak punya kesempatan untuk membela diri, buktipun tak dapat Gombel tunjukan.

Gombel tak ingat lagi siapa persisnya yang memulai, karena setelah itu badannya yang kurus telah dijadikan bulan-bulanan pelampiasan emosi warga, bahkan Pak Nasiran sebagai kepala desa sekaligus ayah angkatnya tak sanggup membendung kemarahan warga.

Masih belum cukup, tubuh Gombel yang sudah berdarah-darah, diarak di jalanan desa, dicemooh, dipermalukan lalu dibawa sungai Kalirayu. Gombel dipasung di tepi sungai, menjalani hidup sendiri di hutan yang angker, siang dan malam menjalani hukuman yang tidak pernah dia lakukan.

Hingga suatu saat Ravi datang, membawanya ikut serta mencari warga yang hilang dan akhirnya kebenaran terungkap, bukan Gombel yang mencuri sapi, tetapi orang-orang Suku Babakan yang diperintah untuk mencuri ternak untuk memberi makan ribuan budak.

Walaupun kebenaran telah terungkap, tapi hingga saatnya hari pembebasan, tak ada satupun warga yang datang kepada Gombel untuk meminta maaf. Tak ada yang peduli dengan kata maaf, warga sudah sibuk memikirkan urusannya sendiri, memikirkan harta bendanya yang telah habis terbakar.

Berulang kali Gombel menolak gejolak dalam dirinya. Berusaha untuk memaafkan dan menyembunyikan kepedihannya dalam senyum, berharap itu dapat menyingkirkan rasa traumanya dalam balutan memori masa kecil yang indah. Memutarnya kenangan itu berkali-kali hingga rasa jemu menyeruak kembali, menyibak rasa dendam dan menunggu waktu untuk tersulut.

Malam sebelumnya Gombel sudah berhasil menumpahkan amarahnya, Gombel telah membakar orang yang telah semena-mena menuduhnya sebagai maling. Gombel masih ingat suara jeritan Pak Sadun dalam kobaran api. Seharusnya Gombel merasa lega sekarang, dendamnya terbalaskan, tapi kenapa di dalam dadanya malah menyisakan rasa sesak. Sanubarinya menolak setuju dengan semua yang dia lakukan.

'Kenapa aku harus menyesal?
Bukankah aku yang selama ini menderita. Aku hanya ingin dia ikut merasakan rasa sakit yang sama, dan itu belum seberapa dari semua sakit yang kurasakan.'

Gombel menunduk semakin dalam, air matanya menetes dengan sendirinya. Pikiran Gombel kacau, bingung menentukan sikap, hingga tak sadar beberapa orang telah hadir.

"Jalandra! Aku punya kabar untukmu." Suara seorang wanita di depannya. Mendengar itu Gombel cepat-cepat menghapus air mata.

Aurelia Swan, Belphegor, Jali Kannai, Roben, Jorgen dan dua anak buahnya yang tersisa kini menjadi ordo yang melindungi Gombel.

Pencari ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang