19. Hipnosis

1K 146 424
                                    

*Tahun 0004, bulan 01, hari 13, pukul 11.00 Waktu Negeri Timur.

Klaus berlari pontang-panting di hutan, tidak terhitung sudah berapa banyak pohon yang dia lewati. Beberapa kali Klaus menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Karena perhatiannya terbagi, Klaus sampai terjatuh berkali-kali, kepanikan membuat Klaus lupa akan latihan pengendalian diri ketika di militer dulu.

Kali ini Klaus sudah tidak sanggup menahan sesak di dadanya, Klaus berhenti di dekat sebuah pohon, menatap sebentar ke belakang, memastikan kembali tidak ada yang mengejar. Di belakang kosong, aman, dia bisa beristirahat sebentar.

Klaus berkacak pinggang memegangi perutnya mengatur napas, membelakangi pohon.

Klaus tak habis pikir darimana datangnya makhluk yang mengejarnya, makhuk itu muncul secara mendadak dan menghilang kemudian, lalu muncul kembali di tempat lain dan menghilang lagi, begitu terus menerus. Wajah Klaus pucat pasi, begitu ketakutan.

Klaus merasa sedikit menyesal, dia pernah kelewat emosi memukul seorang pekerja tambang yang sudah tua, karena dia begitu lelet bekerja hingga dia meninggal. Setelah itu, Klaus menyaksikan orang-orang pekerja tambang yang lain membungkus orang tua itu dengan kain berwarna putih, lalu menguburkannya.

Pertama kali bagi Klaus melihat prosesi itu. Di negaranya, mayat tidak dibungkus, tetapi diberi pakaian formal jas dan dimasukan ke dalam peti. Semenjak kejadian itu, Klaus selalu dibayangi arwah orang tua itu dimanapun dia berada. Klaus tak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun, jangan sampai anak buahnya atau orang-orang tau akan kelemahannya.

Klaus menyandarkan punggungnya sebentar ke pohon di belakangnya. Terasa empuk dan nyaman untuk disandari.

'Tunggu sebentar! Batang pohon seharusnya keras, bukan empuk.'

Keringat dingin kembali mengucur dari dahinya. Klaus tak sanggup menelan ludah, tak mau memastikan apa yang ada di belakangnya.

Klaus sangat benci dengan rasa penasaran yang dimilikinya, seperti rasa gatal yang harus digaruk agar melegakan perasaan. Rasa penasaran itu yang membuat Klaus begitu ingin menoleh, berbanding terbalik dengan nyalinya.

Klaus menelan ludah, memberanikan diri untuk menengok ke belakang, hanya di bagian bawah saja, hanya satu titik itu saja sudah cukup mewakili. Klaus menggerakkan wajahnya ke kanan dan matanya segera melirik ke bagian kanan bawah. Sebuah benda berwarna putih. Seharusnya batang pohon pada umumnya itu berwarna coklat, bukan putih. Klaus menutup mata rapat-rapat. Sial.

Badannya terasa begitu kaku sekarang, di saat yang tidak tepat. Klaus mengepalkan tangan, mengumpulkan keberanian untuk kabur, begitu takutnya tanpa membuka mata Klaus segera bangkit dan berlari ke depan.

JEDUUGGGGGGHHHH!

Klaus terjungkal ke belakang setelah menabrak sesuatu. Klaus merasa sangat bodoh sekali, bagaimana bisa dia berlari benar bila matanya tertutup. Klaus bangkit membuka mata untuk berlari kembali, tapi wajah itu sudah ada di depan mukanya. Wajah orang tua yang dulu dia bunuh, hanya tampak bagian wajahnya saja keriput dan pucat, sisanya terbungkus kain putih yang sudah kusam.

"POCOOOOOONGGGGGGG!"

"... UWAAAAAAAA!" teriak Klaus lari kalang kabut, terus menerus berteriak hingga suaranya serak, karena setiap kali dia berhenti, Klaus akan menjumpai pocong kembali, berulang-ulang, entah sampai kapan akan berakhir.

Sementara di bagian luar kabut, Ardei Swan, Raja Hutan Lindung berdiri dengan wajah merah padam, memandang Klaus yang tersiksa berguling-guling di tanah, gerakannya terbatas karena sebuah tombak masih menancap di pundaknya dan darah telah membasahi pakaian Klaus. Mata Klaus hanya menampakan bagian putihnya saja, wajahnya pucat dan mulutnya terbuka mengeluarkan busa dan berteriak-teriak ketakutan.

Pencari ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang