sebelas

4.1K 195 2
                                    

AYANA POV

Gue nggak peduli dan nggak mau tahu ke mana om-om yang duduk di samping gue sambil fokus mengemudikan mobil ini membawa gue pergi. Gue bodo amat, sama sekali nggak takut apabila dia nyulik gue sekalipun. Lagipula, dia sepertinya sudah menjadi lelaki yang sangar disayangi oleh mama, menyingkirkan posisi gue. Jadi, hal-hal buruk semacam menculik atau menganiaya gue adalah sesuatu yang mustahil om-om nyebelin ini bakal lakuin ke gue.

Mobil sudah berjalan cukup lama, kira-kira sudah dua puluh menitan kita sama-sama terjebak dalam keheningan. Gue sih nggak masalah, malah lebih baik kayak gini. Lagian nih ya, kalau ngobrol sekalipun, gue nggak minat nanggepin dia. Ingat, gue kesel setengah mati sama om-om nyebelin di samping gue yang kebetulan sedikit ketolong sama mukanya yang cukup terbilang ganteng.

Walaupun mengobrol sekalipun, memangnya topik apa yang mau dibahas? Umur dia terpaut jauh sama gue, berapa ya kira-kira? Tujuh tahun? Sepuluh tahun? Atau mungkin dua puluh tahun? Entahlah, gue nggak tau umur Pandu berapa. Yang jelas, dia ketuaan buat gue. Yah ... Emang nggak tua-tua banget sih, gue yakin kalo dia umurnya belum ada 30 tahun. Tapi jika dibandingkan sama gue, jauh banget elah. Nggak ada yang nyambung kali kita ngobrol sekalipun.

Untuk mengusir rasa bosan yang perlahan-lahan mulai menyerang, gue akhirnya memilih mengambil ponsel. Berselancar di dunia maya sepertinya cocok untuk mengenyahkan kegabutan yang sudah menyerbu gue selama dua puluh menit belakangan.

"Ayana ..."

Belum ada lima menit gue bermain instagram dan stalking artis favorit gue, tiba-tiba suara serak-serak basah sedikit seksi yang nggak asing menyerbu masuk ke dalam gendang telinga gue. Suara si Pandu. Lancang nggak sih nyebut nama doang? Ah bodo amatlah ya, ngapain juga gue pikirin.

Gue diem aja, padahal gue denger dia manggil nama gue.

"Ayana," panggil Pandu sekali lagi, rupanya dia tidak mau menyerah juga.

Jari gue berhenti bergerak menggulirkan layar ponsel. Akhirnya, gue mengeluarkan napas pendek, kemudian menoleh tanpa minta ke arah Pandu.

"Apa?" tanya gue jutek.

Dia tidak langsung menjawab, melirik gue pun tidak. Fokusnya mengarah ke jalanan di depan sana. Gue pikir dia nggak melanjutkan kata-katanya yang sebenarnya gue enggak peduli-peduli amat, gue hendak kembali bermain hape ketika Pandu meneruskan kalimatnya.

"Kamu pengin pergi ke mana?" tanyanya lembut, kali ini menatap gue meskipun cuma beberapa detik.

Gue langsung mengendikkan bahu. Tidak peduli. "Kenapa malah nanya ke gue? Kan situ yang ngajak gue pergi, gimana sih?" Bola mata gue berputar malas. Aneh banget nih orang. Bikin gue malas di sini.

"Siapa tahu kamu mau pergi ke mana gitu, biar saya anterin kamu."

Gue mau pulang! Itu yang gue mau. Tapi ... Nggak mungkin gue ngomong kayak gitu. Yang ada leher gue bakal digorok mama sampai di rumah lagi. Enggak, itu bukan jawaban yang tepat buat dilontarkan.

Akhirnya, gue memilih menggeleng lemah. "Enggak pengin pergi ke mana-mana, terserah lo aja mau bawa gue ke mana, gue ikut aja."

Sudah, gitu doang. Setelah itu Pandu diem lagi. Ya bagus sih, gue jadi bisa fokus main hape lagi. Hingga sepuluh menit kemudian, mobil yang gue tumpangi ini melipir ke arah restoran.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang