tiga delapan

2K 146 15
                                    

AYANA POV

"Mama kamu beneran nggak ada di rumah kan sayang?"

Gue nggak langsung menjawab pertanyaan Adit yang tentu saja ditunjukan untuk gue. Gue sibuk membuka pengait helm, kemudian melepaskan benda pelindung kepala itu dari kepala gue. Barulah, detik berikutnya gue menatap Adit.

Berjalan mendekat ke arah motor Adit, gue pun meletakkan helm dispion. "Iya Dit, mama nggak ada kok di rumah. Kenapa emangnya?"

"Aku boleh mampir, kan? Masih kangen sama kamu nih, pengin berduaan sama kamu lebih lama lagi. Boleh, ya?"

Gue mendesah pelan, kepala gue berpaling ke arah gerbang rumah gue. Nggak ada mobil om-om nyebelin itu, berarti dia belum datang ke sini. Mungkin dia masih di rumah sakit, atau bisa jadi dia masih dalam perjalanan ke rumah gue. Itupun kalau Pandu benar-benar serius sama ucapannya tadi pagi yang katanya mau nemenin gue. Tapi, laki-laki itu pasti serius sama ucapannya. Gue yakin akan hal itu.

Dan sekarang sudah pukul empat sore. Gue bukannya nggak mau berduaan sama Adit. Ya, gue pengin menghabiskan waktu lebih lama lagi bareng pacar gue. Mesra-mesraan, becanda sampai ngakak, atau melakukan kegiatan apapun itu. Yang penting bareng sama Adit.

Tapi ... Waktunya sungguh tidak tepat. Bagaimana kalau gue mempersilakan Adit masuk ke dalam rumah, disaat yang bersamaan Pandu juga datang ke sini? Apa yang harus gue jelaskan ke Adit nanti? Oke, gue nggak mau kalau Adit sampai ketemu Pandu. Bisa gawat masalahnya.

"Ayana, kamu kok malah ngelamun sih sayang? Nggak denger aku ngomong tadi?"

Gue tergelak, kemudian mengeluarkan napas panjang. Gue pun akhirnya menggeleng lemah. Gue memfokuskan sorot mata gue ke arah mata Adit. Tatapan kami saling bertubrukan diudara, gue terkunci. "Dit, bukannya aku nggak mau. Tapi lain kali aja ya? Aku capek," ucap gue.

Gue menampilkan raut wajah kusut, berharap Adit bakalan ngerti.

"Tapi ini mumpung nggak ada mama kamu lho sayang?"

"Terus, kalo ada mama aku kenapa? Kamu kan bisa mampir juga."

Adit malah meringis pelan, sedangkan gue yang bingung hanya menautkan alis. Adit memang jarang ketemu sama mama, cuma beberapa kali doang. Dan kesan yang mama berikan ke Adit memang kurang menyenangkan. Mungkin saja, Adit jadi sedikit anti dengan mama.

Kalau ada mama di rumah dan gue sama Adit berencana untuk jalan-jalan, biasanya pacar gue ini nungguin gue di depan gang. Seperti waktu itu. Terus, siang tadi Adit menjemput gue naik motor di depan rumah untuk berangkat ke kampus. Ya karena enggak ada mama.

Adit emang cemen, ketemu mama saja masih aja takut. Mama gue kan nggak gigit.

"Ya udah deh Na, lain kali aja. Aku juga lumayan capek sih sebenarnya."

Gue bersyukur karena Adit nggak bujuk gue lebih jauh lagi. Dan mengarang alasan adalah bukan keahlian gue. Adit pun menyalakan motornya lagi, kemudian dia pamit kepada gue buat pulang, yang gue balas dengan anggukan kepala. Gue tersenyum lega dan mengelus dadaa. Akhirnya Adit pergi. Ini lebih baik ketimbang Pandu sama Adit sampai ketemu. Bisa berabe gue.

Dengan langkah pelan, gue berjalan memasuki gerbang rumah, kemudian dilanjutkan melangkah menuju teras. Dari dalam tas, gue mengeluarkan kunci pintu, kemudian membukanya hati-hati, sebelum akhirnya gue masuk ke dalam rumah.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang