dua puluh

3.3K 169 60
                                    

AYANA POV

Pantas aja sedari awal gue sudah ngerasain hal-hal yang nggak beres. Waktu mama langsung ngiyain permintaan buat jemput gue di taman kota, gue udah aneh dan merasa janggal sendiri. Ini seperti bukan mama yang biasanya. Bukannya langsung menyetujui gue, mama pasti akan mengomel dulu, nyuruh gue buat nyari kendaraan buat pulang ke rumah.

Dan kini terbukti sudah semua keganjilan itu semua, rupanya mama minta bantuan si om-om nyebelin buat jemput gue. Gue bodooh banget, harusnya gue bisa menebak hal yang bisa aja terjadi kayak gini.

"Gue nggak mau pulang bareng lo, apalagi sampai semobil lagi." Memalingkan wajah sambil melipat tangan didepan dadaa, gue menjawab ketus.

"Kamu harus pulang bareng saya Ayana, ayo kita pergi," ujarnya lembut seraya meraih tangan gue yang langsung gue tepis mentah-mentah.

Gue mundur selangkah setelah menyentak tangannya. Tatapan tajam gue semakin mengubunusnya. "Nggak usah pegang-pegang tangan gue bisa, kan? Tangan lo banyak kumannya."

Pandu segera menyahut. "Mama kamu sudah memberikan saya amanah buat nganterin kamu pulang. Ayo ikut saya ke mobil."

"Itu telinga buat pajangan aja, ya? Budek? Nggak denger gue ngomong apa?"

"Saya sudah berjanji sama mama kamu buat nganterin kamu pulang."

"Gue nggak mau."

"Yakin?"

"Kenapa enggak?" tantang gue, menaikkan dagu.

Untuk sesaat Pandu diam, dia menatap gue datar. Sedangkan gue sendiri masih menatap matanya dengan tajam. Gue memang pengin pulang sekarang, terus mandi karena badan gue udah terasa lengket banget, terus habis itu makan dan tidur di kamar gue. Tapi ... Gue nggak mau pulang dan semobil sama om-om kesayangan mama ini. Enggak, gue udah muak lihat mukanya.

"Terus kamu mau pulang naik apa?" tanyanya lagi.

"Ya terserah gue. Nggak perlu juga kan gue ngasih tau lo? Mau gue pulang naik angkot kek, mau naik taksi kek, mau gue naik ojek kek, naik kereta kek, naik becak kek, atau naik pesawat sekalipun, lo nggak perlu tau!"

"Keselamatan kamu adalah tanggung jawab saya."

"Nggak ada sejarahnya tuh," ucap gue, "keselamatan gue adalah tanggung jawab gue sendiri. Paham om? Urus aja urusan lo sendiri, jangan gangguin hidup gue."

Pandu menatap gue sudah mulai lelah. Bagus, cara yang lumayan buat dia nggak tahan deket-deket sama gue lagi. "Semua yang ada didiri kamu, sekarang udah jadi tanggung jawab saya juga. Saya nggak mau kamu kenapa-napa."

"Halah, udahlah ...." Gue mengibaskan tangan ke depan, "gue nggak peduli, gue mau pulang."

"Iya pulang, tapi sama saya." Pandu tiba-tiba berucap tegas, gue langsung terdiam dengan bola mata yang membulat menatapnya tidak percaya. Tadi ... Beneran dia yang ngomong kayak gitu ke gue?

Belum lagi sorot matanya yang kini berubah setajam silet, membuat gue langsung membeku tiba-tiba. Pandu mendekat ke arah gue, namun gue nggak bisa bergerak seolah kaki gue ini terkunci.

Setelah berada tepat di hadapan gue, jarak yang begitu dekat sampai dadaanya nyaris menempel pada tubuh gue, om-om yang kelihatannya sedang marah ini tiba-tiba saja langsung mencekal tangan gue cukup keras, ini adalah sentuhan pertama kami setelah berjabat tangan waktu dia datang ke rumah gue untuk pertama kalinya.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang