empat belas

3.7K 202 15
                                    

AYANA POV

Jelas, apa yang Pandu ucapkan tadi sungguh mengusik hati dan pikiran gue. Tunggu, maksudnya apaan sih? Itu bukan jawaban yang gue minta, gue nggak mau tunangan sama dia, apalagi sampai nikah. Ini benar-benar kacau, gue nggak tahu mau ngapain lagi. Gue sebel dengan kalimat Pandu tadi. Gue ditakdirkan buat dia gitu? Mikir itu aja udah buat kepala gue mau pecah dan perut gue mendadak mulas.

Dasar om-om kampret!

Lihat aja, gue bakal bikin lo kapok udah ngajak gue jalan-jalan Pandu! Gue punya rencana bagus yang bakal bikin lo semakin muak sama gue. Lebih-lebih lagi, lo nggak munculin muka sok kegantengan lo itu.

"Ayana, dari tadi kamu muter-muter di sini. Kamu nggak capek?" Pandu bertanya kepada gue dengan aksen suara normal. Dia nunduk, natap gue. Sedangkan harus sedikit mendongak ke atas buat natap wajahnya. Maklum, dia tinggi macam tower, sedangkan tinggi badan gue cuma sampai dadaanya Pandu doang.

"Gue masih muda, energi gue masih penuh. Muter-muter di mall nggak bakal bikin gue mati kelelahan. Kenapa emangnya?"

Pandu menggeleng sambil tersenyum. "Nggak pa-pa, saya cuma nanya aja."

"Jangan-jangan lo sendiri yang capek ya?" Gue memicingkan mata, memandangi wajah Pandu yang sedang mengerutkan keningnya. Gue terkekeh pelan. "Oh ya, gue lupa satu hal. Lo kan udah tua, stamina lo nggak sekuat gue. Pegel ya kakinya? Maklum sih, semakin tua, semakin banyak pula sendi-sendi yang mulai kaku."

Gue tertawa lepas banget, sedangkan dia cuma natap gue diem aja. Satu hal yang baru gue sadari, dia terlihat baik-baik saja dan wajahnya nggak pernah tegang sewaktu gue ejek kalo dia udah tua. Pandu sepertinya nggak pernah tersinggung sama omongan gue. Sementara gue sendiri? Seneng banget bisa ngeledek dia dengan sebutan laki-laki yang udah tua.

Menggeleng pelan, gue menutup mulut ketika tawa gue masih menggelegar. "Ups ... Maaf, tersinggung, ya? Jangan marah dong harusnya, sadar diri kalo lo emang udah tua."

"Ada barang yang pengin kamu beli Ayana?"

"Menurut lo gue minta dianterin ke sini nggak mau beli apapun gitu? Ya jelas ada lah, ngapain juga gue ke sini kalo nggak ada yang mau gue beli? Begoo dipelihara, huuu ... Dasar!" Gue mengeluarkan lidah, bermaksud meledek Pandu.

Setelah itu, gue langsung melanjutkan langkah. Meninggalkan Pandu yang masih saja berdiri di tempat. Gue nggak bisa baca raut wajah dia, apakah dia terluka dengan kata-kata pedas gue, atau dia sebenarnya kesal tapi mencoba terlihat baik-baik saja. Mana yang benar, gue nggak tau. Satu hal yang pasti, dia nggak pernah protes sekalipun gue usil ini itu.

Saatnya melancarkan misi kedua gue. Gua jamin, Pandu bakal kapok mau ngajak gue jalan lagi. Sekalipun dia nggak kapok, minimal dia bakal mikir-mikir terlebih dahulu.

"Gue lagi pengin sepatu, kebetulan sepatu lama di  rumah udah bosen buat gue pake."

"Terus?"

"Ya gue ijin dulu sama lo, kan lo yang bakal bayar. Gimana sih? Nggak konek juga? Otak lo udah tua nih kayaknya."

"Bukan itu maksud saya Ayana."

Gue langsung berbalik badan, menghadap Pandu sepenuhnya. Seraya menaikkan dagu ke atas dan melipat tangan, gue berucap tajam. "Terus apaan? Nggak mampu buat bayarin gue buat beli sepatu? Duit yang ada di dompet lo cuma cukup buat bayar parkiran aja?" Gue terkekeh renyah.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang