AYANA POV
Gue nggak berada di dunia mimpi, yang apapun bisa saja terjadi. Gue di sini, di kamar, berada di dunia nyata. Gue tertawa pelan, tentu saja gue ada di dunia nyata. Semua kejadian dari hari kemarin bukan hanya sekedar bunga tidur semata. Ini terlalu nyata. Gue mendongak ke atas, duduk di lantai dengan punggung yang bersandar pada tembok. Air mata gue sudah kering karena terlalu lama menangis. Juga, mata gue terlihat sembab waktu gue lihat di kaca.
Dan kepala gue berputar ke arah pintu, lalu gue terdiam dengan napas tertahan. Dia ... Ada di sini. Pandu datang ke sini, lagi. Sekarang mau apa dia ke sini? Mau menghancurkan hidup gue lebih ganas lagi? Atau lebih buruk dari itu?
Gue capek, terlalu lama menangis membuat tenaga gue terkuras habis. Gue mengalihkan pandangan dari posisi Pandu yang berdiri di ambang pintu.
"Ayana ... Boleh saya masuk?" tanyanya. Gue denger dia ngomong, tapi gue terlalu malas buat menyahut.
Nggak lama dari itu, suara berat itu datang lagi, mengalun di gendang telinga gue.
"Saya tahu kamu denger saya ngomong apa," lanjutnya. "Kamu tetep diam, saya simpulkan sendiri bahwa saya diperbolehkan masuk."
Gue masih nggak mau membuka mulut. Gue diam, tatapan gue masih terpaling ke arah lain. Lalu, telinga gue menangkap langkah kaki mendekat. Pandu berdiri di hadapan gue, kemudian tiba-tiba saja dia berjongkok di depan gue.
Dan gue masih nggak mau menatap wajah Pandu. Perasaan gue saat ini sungguh campur aduk nggak karuan.
"Ayana ...."
"Gue lagi nggak pengin ngomong apapun sama lo," jawab gue ketus. Masih memalingkan wajah.
"Itu tadi ngomong."
Spontan gue menatap ke arah depan, tepatnya ke wajah Pandu. Gue nggak tahu kalo posisi om-om nyebelin ini tepat persis di depan wajah gue. Gue sedikit salah tingkah. Catat, cuma sedikit. Bahkan gue sempet tahan napas sebentar.
Gue mendesah lelah. "Gue nggak lagi becanda. Terserah lo mau di sini atau mau pergi, intinya gue nggak mau diganggu."
"Kamu marah sama saya?"
Gue tertawa kecil, lalu menatap Pandu sambil tersenyum sinis. Ngomong apa sih om-om ini?
"Nggak salah kan lo ngomong kayak gitu?" tanya gue sembari geleng-geleng kepala, merasa heran sendiri. Harusnya dia ngerti tanpa perlu nanya ke gue sekalipun. Ya udah jelas banget kalo gue marah sama lo! Ngapain pake nanya segala dodol! Bahkan gue lebih marah daripada yango perkirakan.
"Menurut lo sendiri gimana? Gue marah atau nggak?"
"Marah," jawabnya, masih mempertahankan wajah temboknya.
"Nah, sekarang udah tau, kan? Terus ngapain nanya kayak tadi?"
Pandu terdiam beberapa detik, sepertinya dia sedang memikirkan, atau mungkin barangkali sedang merangkai kalimat yang tepat untuk diutarakan. Gue diam-diam menunggu dia mengucapkan sesuatu.
"Saya tahu kamu marah, terkejut, nggak terima keadaan. Ini semua pasti mengejutkan kamu Ayana, saya paham itu. Paham sekali. Tapi ..." Kalimat Pandu terjeda, dia berhenti sejenak, tatapan matanya terus mengarah ke mata gue. Gue juga menatap Pandu, nggak berkedip, seolah hanya itu objek satu-satunya yang bisa gue lihat. Pandu tiba-tiba saja menyentuh lutut gue yang tertekuk, mengusapnya pelan. Dan kali ini, entah kenapa gue nggak mau menangkis tangannya. Gue diam, menikmati sentuhannya. "Tapi Ayana ... Ijinkan saya mencintai kamu sepenuh hati. Saya tahu, bahkan paham kalo kamu nggak cinta sama saya. Tapi, bukankah semua hal bisa dicoba? Awalnya mungkin saja sulit, tapi cinta bisa muncul karena terbiasa. Terbiasa kamu dekat dengan saya, terbiasa kamu menghabiskan waktu dengan saya, terbiasa kamu ... Mungkin saja, suatu saat nanti, bergantung sama saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...