"Udah lama kita nggak nongki-nongki di kafe nih Na. Yuk kita ke sana, udah lama banget kita nggak menikmati suasana menyenangkan itu." Cantika berbicara sambil dengan sorot mata yang berbinar. Sahabat gue itu memegang tangan gue, mengayunkannya pelan.
Gue meringis pelan, kemudian menggeleng nggak enak. Merasa sangat bersalah, "duh Can, lain kali aja, ya? Gue nggak bisa hari ini. Gue ada urusan."
Cantika melepaskan tangan gue dengan agak kasar, bibirnya mencebik. Sedangkan gue masih menatapnya sambil nyengir.
"Nggak bisa mulu perasaan, minggu kemarin nggak bisa, ini nggak bisa lagi. Terus kapan Na? Tahun depan?" Cantika mendengkus setelah memutar bola matanya malas. Dia menatap gue nggak suka.
Gue meraup tangan Cantika, memegangnya erat. "Gue beneran nggak bisa Can, suer deh gue nggak bohong sama lo. Besok atau lusa deh, gue pasti bisa."
"Halah, nggak ada jaminan! Entar lo nggak bisa lagi, jangan janji dulu kalau belum tentu lo sanggup jalanin."
"Gue besok bisa, serius!" Gue mengangguk mantap, berusaha meyakinkan. Gue juga mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah ke udara membentuk huruf V.
Cantika memicingkan matanya, menatap gue dalam-dalam. Dia sepertinya sedang mengorek kesungguhan akan ucapan gue tadi. Dan gue berusaha menampilkan raut wajah semeyakinkan mungkin agar Cantika percaya sama kata-kata gue.
"Oke!" putus Cantik akhirnya. "Janji ya besok lo bisa? Awas aja kalau nggak bisa, siap-siap aja gue marah sama lo sebulan penuh."
"Serem amat ngancemnya," sindir gue.
Cantika mengendikkan bahunya acuh tak acuh. "Bodo amat, nggak peduli."
"Iya iya gue janji."
"Hmm, lo harus tepati janji itu."
"Gue nggak bakal lupa Can."
"Ngomong-ngomong, lo ada keperluan apaan sih emangnya hari ini?" Cantika kembali menatap ke arah gue.
Gue nyengir, "mau ke rumah sakit, jemput mas Pandu."
"Oalah pantesan aja gue ajak ke kafe nolak, ada yang udah kangen sama suaminya. Iya gue diem aja deh yang jomblo ngenes gini."
Gue terkekeh pelan, "tadi pagi gue yang nganterin mas Pandu, sekarang gue juga dong yang harus jemput."
"Mesra amat kayaknya, pengin nikah juga. Tapi sayang, calon gue nggak ada. Emang sedih jadi gue, boro-boro calon suami idaman, pacar aja nggak punya."
"Cari dong kalo gitu, banyak tuh yang ganteng-ganteng di sini."
Cantika menggelengkan kepalanya. "Nggak mau, gue pengin yang udah kerja. Ya kayak lo ini Na, dapet mas Pandu yang umurnya jauh di atas lo. Gue juga pengin, kalo boleh milih sih gue pengin om-om CEO gitu."
"Banyak maunya!" sindir gue.
"Ih tpi kan gue pengin juga tauk Na. Lo mah udah enak banget Na, dokter Pandu itu suamiable banget lah pokoknya."
"Awas, entar lo naksir lagi sama mas Pandu."
"Sembarangan aja kalau ngomong." Cantika memberikan jitakan pelan di kepala gue. "Emangnya lo mau gue tikung?"
"Ya enggak gitu juga!"
"Nah makanya jangan asal ngomong, lagian gue nggak sejahat itu sama temen sendiri. Dan gue pasti juga ada jodohnya sendiri nanti. Memang bukan sekarang, bisa jadi nanti Tuhan ngasih gue yang lebih. Dan lagipula, memangnya mas Pandu lo itu suka gue? Enggak, kan?"
Gue tersenyum. "Nah gitu dong positif mikirnya."
Cantika menganggukkan kepalanya. "Jadi sekarang lo mau langsung ke rumah sakit Na?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...