enam belas

3.1K 165 15
                                    

PANDU POV

Aku melirik arloji di pergelangan tangan, sudah pukul empat sore. Ini jadwalnya untuk aku pulang ke rumah. Aku tersenyum tipis, akhirnya hari ini selesai juga semua pekerjaanku yang sungguh menguras tenaga. Menjadi dokter spesialis anak, sungguh itu lebih sulit dan menghabiskan energi super banyak. Seringkali anak-anak sulit untuk diatur, apalagi dalam urusan yang berhubungan dengan obat-obatan seperti ini. Jadi wajar saja apabila semua ini terasa sungguh melelahkan.

Bangkit dari kursi, aku mengambil tas dan memperhatikan sekitar, barangkali ada barang yang tertinggal. Beberapa saat aku tidak menemukan sesuatu, namun pada detik kesepuluh, kulihat ponselku yang sedikit terlihat dari tumpukan map dan buku-buku. Untung saja aku sempat meneliti sebelum pulang ke rumah.

"Sus, jadwal kita hari ini sudah selesai semua, kan?" tanyaku kepada suster Tiara, seorang teman yang ditempatkan bekerja seruangan denganku. Suster Tiara sudah menjadi rekan kerjaku selama tiga tahun.

Kulihat wajah suster Tiara kini mengarah kepadaku, kemudian senyuman lebarnya terbentuk. "Ini sudah di luar jam kita, udah aku ingatkan berkali-kali loh. Masih lupa juga?" Suster Tiara nampak geleng-geleng kepala.

"Maksudnya?" Kukerutkan kening tanda aku sedang bingung, memang aku nggak paham apa yang dimaksud oleh rekan kerjaku ini. Sungguh, aku serius.

"Kita sudah sepakat dari lama banget, mungkin tahun lalu atau kapan, tapi aku lupa kapan tepatnya."

"Lantas?"

Suster Tiara nampak menghela napas pelan. Kemudian ia berjalan selangkah mendekatiku. Tubuh kami nyaris sama tingginya, suster Tiara memiliki tubuh langsing dan kaki yang jenjang. Wajahnya cantik dengan rambut hitamnya yang selalu wangi. Aku akui kalau dia memang mempesona.

"Ini sudah di luar jam kerja kita, kan? Jangan manggil aku dengan sebutan suster, aku nggak suka itu. Kecuali kalo memang lagi kerja."

"Oh yang itu ...." Aku sekarang paham apa maksud dari suster Tiara. Ups, maaf. Maksudku Tiara. Dia umurnya jauh lebih muda dariku. Jarak umur kita berdua terpaut lima tahun. Aku nyengir kecil, merasa bodoh sekaligus malu. "Maafin saya Ra, sumpah saya benar-benar sering lupa tentang ini."

"Dan aku rasanya udah capek banget ngingetin mas Pandu terus-terusan. Bosen tauk!" Bibir Tiara mencebik pelan, matanya memutar malas. Sementara aku masih meringis tidak enak.

"Maaf sekali lagi, lain kali saya janji akan mengingatnya dengan baik," janjiku dengan wajah yang dibuat semeyakinkan mungkin agar Tiara percaya pada kata-kataku.

"Mas Pandu emang pelupa, aku maklumi karena mas kan udah tua." Dihadapanku, Tiara terkikik geli. Siaal, dia menggodaku ya!

Kenapa sih setiap orang beranggapan kalau aku ini udah tua? Ya ampun, perlu aku tegaskan apa lagi? Aku belum tua-tua banget. Umurku belum ada tiga puluh tahun! Hufft ... Ini sangat-sangat menyebalkan.

"Ra, saya emangnya kelihatan setua itu di mata orang-orang kayak kalian?" tanyaku, kali ini sedikit serius. Mataku menatap matanya dalam. Menunggu Tiara menjelaskan sesuatu.

Tiara menatapku dengan mata memicing. "Orang-orang kayak kalian? Maksud kamu mas?"

Aku langsung menjawabnya cepat. "Perempuan. Jawab dengan jujur, apa saya setua itu di mata kalian?"

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang