AYANA POV
Gue memberanikan diri menatap Cantika lebih dalam lagi. Seharusnya gue nggak gini juga, Cantika bukan orang luar. Dia sahabat gue. Berulang kali gue meyakinkan diri agar tetap tenang.
"Can, sebenarnya gue ...," Gue memejamkan mata, berhenti sejenak. Kemudian kembali mendongak. Gue harus mewanti-wanti Cantika dulu sebelum membeberkan rahasia gue yang sungguh memuakkan. "Tapi lo janji nggak bakal ngomong sama siapapun, ya? Lo jangan bocor, bibir lo dijaga jangan sampai keceplosan."
"Emang apaan sih Na? Lo kok bikin gue tambah kepo gini?" Cantika semakin natap gue ingin tahu. Kalo ada diposisi dia, gue pun pasti akan merasakan hal yang serupa.
Gue mendesaah keras, "Janji dulu sama gue, jangan sampai buka mulut. Terus habis deh gue kalo misal satu kampus tahu."
"Halah lo ini, lagaknya kayak nyimpen rahasia yang bakal menghancurkan hidup lo aja," cibir Cantika, dia mendengkus pelan sambil memutar bola matanya.
Gue segera menukas. "Emang gitu, apa yang lo omongin barusan emang rahasia gue, yang bisa kapan aja menghancurkan hidup gue. Itu kalo mulut lo kayak selang bocor."
"Sumpah ya, jangan bikin gue kepo kayak gini dugong! Buruan ngomong deh, iya janji gue nggak bakal ember sama apapun. Lo kayak siapa aja, gue sahabat lo. Nggak mungkin gue ngelakuin itu."
"Kan buat jaga-jaga aja, tapi gue percaya sama lo kok Can. Seperti lo percaya sama gue," sahut gue. Dan raut wajah Cantika sudah kelihatan malas banget. Gue meringis pelan, sedikit merasa bersalah sudah membuat sahabat gue ini capek nungguin gue ngomong.
"Jadi masalahnya?" Cantika menaikkan alisnya, tangannya memegang gelas yang berisi jus jeruk, hendak meminumnya.
"Gue itu sebenarnya ... Udah tunangan." Setelah selesai berkata, gue menunduk sambil mengigit bibir. Nggak cuma itu, gue juga menunggu respons dari Cantika.
Cantika mengangguk pelan sambil menenggak minumannya. "Oh tunangan ...."
Sahabat gue itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu detik berikutnya Cantika melotot, menyemburkan jus yang masih berada di mulutnya.
"Apa?!"
Cantika sepertinya baru sadar akan pengakuan gue tadi. Dan sekarang raut wajahnya langsung pucat banget, nggak heran sih. Gue sudah nebak respons dia pasti bakal kayak gini.
Gue segera memberikan tatapan penuh peringatan pada Cantika. Teriakan kencangnya membuat tatapan mahasiswa lain yang lagi berada di kantin langsung terpusat ke arah bangku kami. Dasar Cantika!
Untung saja dengan sadar Cantika membekap mulutnya. Dia menggeser posisi, sekarang duduk lebih dekat ke arah gue. Cantika berkata pelan, nyaris tepat di depan telinga gue.
"Na, lo ... Serius, kan? Nggak lagi ngibulin gue, kan?" Tatapan Cantika penuh dengan tanda tanya. Gue menghela napas, perlahan lalu mengangguk.
"Lihat wajah gue Can, apa gue kelihatan lagi main-main sama ini semua?"
"Tap-tapi bagaimana bisa?"
"Ini semua rencana mama gue Can, mama ngejodohin gue sama laki-laki yang nggak gue kenal sama sekali. Gue udah protes ini itu, menenteng, menyanggah, marah-marah kayak orang gilaa. Tapi ... Sia-sia aja semuanya. Nggak mempan sama sekali. Mama nggak bisa dibujuk, sampai akhirnya kemarin gue beneran udah tunangan."
Gue mengusap wajah dengan frustrasi. Curhat gini rasanya pengin sekalian nangis aja. Mata gue bahkan udah berkaca-kaca. Tapi bener kata orang-orang, berbagi masalah sedikit meringankan beban gue.
Perlahan, gue merasakan punggung gue diusap pelan. Gue mendongak pelan, tersenyum pedih ke arah Cantika.
"Gue nggak tahu harus ngomong apa Na, tapi gue paham kok apa yang lo rasain. Pasti ini berat banget buat dijalanin, apalagi kalo kita nggak cinta sama calon pasangan kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...