AYANA POV
Malam hari setelah kejadian yang rasanya pengin gue usir dari otak gue agar nggak terus memikirkannya, gue meringkuk di atas kasur. Gue benci hari ini, terutama sore hari yang penuh dengan kejutan. Tidak, ini lebih dari sebuah kejutan.
Saat ini, gue bahkan nggak mau melepas dress selutut di tubuh gue, minat untuk membongkar pakaian yang belum gue coba juga sudah hilang tak berbekas. Gue juga mengunci kamar, untuk mencegah mama masuk karena mama yang berperan besar dalam ini semua. Gue kacau, kesel, marah, dan merasa dipermainkan.
Satu tetes air mata keluar dari sudut mata gue, dan gue membiarkan air mata itu terjun dengan bebas. Gue masih bertahan pada posisi, meringkuk di kasur dengan tangan memeluk lutut. Beberapa kali gue mengabaikan ketukan pintu dan bujukan mama untuk makan malam.
Perut gue memang lapar, banget. Secara dari tadi siang gue belum makan apapun. Tapi, gue benar-benar nggak mau keluar apalagi sampai bertemu mama. Hari ini adalah hari di mana gue benci banget sama mama. Melampaui hari-hari sebelumnya.
Gue masih terus mengabaikan mama, nggak nyahut apapun apa yang mama katakan. Kembali gue melihat cincin dengan berlian kecil diatasnya. Buru-buru gue melepas benda yang gue kira harganya pasti selangit. Tapi gue nggak peduli. Gue benci cincin ini. Langsung saja gue lempar benda kecil itu ke sudut kamar.
Mengingat kejadian tadi sore membuat gue rasanya menjadi orang paling tidak beruntung sedunia. Hidup gue hancur sejak tadi sore, sejak acara tunangan gue dan Pandu.
Gue sama sekali nggak mengerti dengan mama dan keluarga Pandu, maksud mereka apa sih ha? Kenapa nggak ngomong ini terlebih dahulu sama gue? Gue nggak tau kalau acara tunangan super nyebelin ini bakal dipercepat. Secepat ini! Gue nggak bisa terima.
Namun, waktu mendaratkan tubuh di samping mama, berhadapan dengan Pandu dan orangtuanya sekaligus, gue bungkam seribu bahasa sekaligus gue nggak tahu ada apa sebenarnya. Lalu, semuanya terjadi begitu saja. Tujuan Pandu, tante Umi dan om Burhan adalah untuk melamar gue.
Gue benar-benar nggak bisa berpikir jernih, gue kikuk, bodoh, dan hanya bisa mengerjapkan mata kayak orang begoo. Terlalu banyak dan begitu mendadak kejadian itu bagi gue, sampai akhirnya gue pun nggak sadar kalo gue sudah menerima tunangan itu!
Gue nyesel, gue tahu kalo gue bodooh dan salah. Tapi, sore tadi benar-benar nggak berpihak bagi gue. Gue kayak dirasuki setan dan dihipnotis, gue cuma ngangguk dan mengiyakan begitu saja.
Terus, gue pun sekarang nyesel. Air mata gue kembali turun, kali ini lebih deras. Nggak cuma itu, gue juga terisak. Sampai akhirnya, gue merasa kelelahan, lalu berakhir terlelap begitu saja.
***
Sinar matahari yang menerobos lewat jendela kamar dan menerpa kulit wajah membuat gue langsung bereaksi. Gue bangun, duduk dan meregangkan otot-otot gue yang rasanya kaku banget. Perut gue benar-benar keroncongan, benar-benar lapar banget.
Gue ngambil hape, lalu melihat jam sudah berada di angka tujuh. Untung saja masih pagi, bahkan terlalu pagi bagi gue untuk bangun. Gue pun langsung turun dari kasur.
Satu langkah, tiba-tiba gue berhenti lagi karena merasa ada yang ganjal dan aneh. Sebentar, tadi hape gue nggak error' kan? Sekarang benar-benar jam tujuh pagi? Gue memutar badan, menghadap ke arah jam di nakas gue. Lah ... Sekarang benar-benar jam tujuh! Dan gue belum siap-siap pergi ke kampus?! Alamak ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...