sepuluh

4.8K 241 1
                                    

AYANA POV

Demi uang saku yang sama sekali nggak rela kalo dipotong setengah oleh mama, akhirnya gue menurut untuk jalan berduaan bareng si tuan nyebelin bernama Pandu itu. Memang sangat menyebalkan, tapi ini hanya jalan satu-satunya yang bisa gue tempu. Tidak ada jalan keluar lain kecuali menurut apa kata mama.

Meskipun begitu, gue masih mencoba bernegosiasi. Sebelum melangkah dan masuk ke dalam mobil milik om-om nyebelin itu, gue berdiri dihadapan mama, menampilkan raut wajah sedemikian memelas dengan harapan mama bakal kasihan sama gue dan akhirnya beliau bisa luluh, membuka gerbang hatinya agar menyuruh gue tetap di tempat, di sini, di rumah. Yah ... Walaupun semua itu berakhir dengan rasa kecewa yang semakin meningkat karena mama sama sekali nggak bisa dibujuk.

"Mama ...," Gue mencoba buat merengek. Gue mohon-mohon sampai memegangi lengan mama, menggoyangkannya dengan cepat. Nggak cuma itu, gue mengentakkan kaki kesal ke lantai. Tindakan gue kali ini nggak jauh beda seperti seorang bocah yang merengek minta dibelikan mainan yang dipengin.

"Ayana nggak mau pergi sama dia mama." Lama-lama kayaknya gue berbakat jadi pemain film karena terlalu sering berlagak akting akhir-akhir ini. Tak jauh beda seperti keadaan saat ini yang sungguh sangat mendesak. "Ayana pengin di rumah, Ayana mau ngabisin weekend di rumah aja, Ayana nggak mau pergi. Ayana nggak mau capek, besok kan Ayana juga harus kuliah juga. Harusnya hari ini Ayana jaga stamina karena besok ada jam pagi. Besok kalau Ayana jatuh pingsan dan di bawa ke rumah sakit gimana ma? Hayo loh, emangnya mama mau Ayana jatuh sakit? Enggak, kan? Jadi please ma ... Tahan Ayana di sini, Ayana nggak mau pergi. Titik!"

Berbicara cepat tanpa jeda seperti tadi rasanya mau matii saja gue. Napas gue habis, membuat gue buru-buru mengisi paru-paru dengan udara baru. Gue tersengal sambil terus natap mama. Semoga mama iba sama gue.

Ya Tuhan, hamba minta tolong kepadamu supaya mama mau membantu hambamu ini yang lagi sangat sensara. 

"Ayana ..."

"Jadi boleh ma?" Dengan bola mata yang mengerjap cepat, disusul tatapan yang sangat berharap, gue memegang kedua bahu mama. Semoga saja doa gue barusan didengar oleh Tuhan.

Mama mendesamah kasar, sebelum akhirnya mama menyingkirkan tangan gue yang masih setia bertengger di bahunya. "Mama nggak bakal berubah pikiran. Percuma saja kamu bujuk-bujuk mama Ayana, kamu nggak bakal bisa merubah keputusan mama. Mama nggak bakal kemakan rayuan omong kosong kamu itu."

"Mama!" Gue mengentakkan kaki lebih cepat lagi. Reaksi gue atas jawaban mama sudah pasti nggak jauh beda dengan cacing yang disiram oleh air garam. Belingsatan nggak jelas. "Mama tega sama Ayana?"

Mana melipat tangannya di depan dadaa, lalu mama tersenyum. "Ayana rela kalo uang sakunya di potong?"

"Mama nggak adil, kenapa ancam Ayana pake itu? Ayana nggak mau mama."

"Ya udah kalo nggak mau, kenapa nggak nurut apa kata mama aja? Kamu yang aneh Ayana," ucap mama seraya geleng-geleng kepala. "Buruan masuk ke mobil, kasihan tuh calon suami kamu nunggu di sana. Jangan terlalu lama menunda-nunda waktu, kasihan calon mantu mama udah terlalu lama di sini. Keburu dia jadi males entar."

"Bagus kalo gitu," balas gue cepat sembari memalingkan wajah.

"Masih nggak mau pergi sekarang?"

Enggak! Gue perlu sebuah alasan yang lebih matang lagi, sebuah alasan yang akan membuat mama nggak bisa berkutik dan akhirnya gue dibiarkan tetap di rumah. Ya, gue cuma perlu jawaban yang cerdas.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang