45. Merasa Bodoh

1.9K 131 0
                                    

Gue takut kenapa-napa kalo gue berkendaraan sendiri naik mobil dalam keadaan kepala banyak sekali pikiran. Jadi, akhirnya gue menerima tawaran Pandu yang kebetulan saja dia menawarkan diri mau mengantarkan gue pergi ke kampus gue. Awalnya sih gue ogah, tapi nggak ada salahnya juga sih menerima itu.

Tapi, sepanjang perjalanan, kami banyak diamnya. Pandu pikir, gue lagi marah sama dia. Padahal, sejujurnya saja, gue justru malah merasa bersalah besar karena sudah menamparnya sore itu. Harusnya dia yang marah, dan nggak perlu minta maaf juga. Gue yang salah di sini.

Pandu salah paham, tapi gue nggak mau jelasin kalo gue diam karena memikirkan Adit. Dulu mama yang ngomong kalo mama lihat Adit yang lagi berduaan sama cewek lain. Dan gue tentu saja langsung nggak percaya gitu aja, soalnya diwaktu itu posisinya gue mau tunangan sama Pandu yang gue tolak mentah-mentah. Gue pikir itu hanya akal-akalan mama aja.

Terus kemarin, gantian Pandu yang memperlihatkan hal serupa tentang Adit. Bedanya, dia menunjukkan hasil tangkapan foto yang dia ambil. Gue pun nggak percaya, gue justru malah bersikap bodoh dengan menampar Pandu.

Dan malemnya, Cantika ngechat gue tentang dia yang lihat Adit yang lagi bermesraan dengan seorang cewek yang entah siapa itu. Plus bonus foto sebagai memperkuat omongannya.

Kalau sudah begini, apa iya gue mau membela Adit lagi? Rasanya nggak mungkin, terlalu banyak bukti yang nggak bisa gue bantah satu-satu. Apalagi, bukti tersebut terlihat sangat nyata. Bukan sekedar hanya dibuat-buat saja.

Suasana hati gue pagi ini terasa sangat buruk, bagaimana kelanjutan hubungan gue sama Adit? Layaknya sebuah kaca yang dijatuhkan, hancur berkeping-keping dan nggak bisa ditambal lagi. Adit sudah mengkhianati gue, dan bodohnya gue baru tahu itu sekarang. Sudah sejauh mana Adit melangkah? Dan hubungan gue sama dia selama ini dianggap apa oleh Adit? Kenapa dia nggak mutusin gue aja?

Gue pusing, sekaligus merasa marah karena sudah dipermainkan. Hari ini juga, urusan gue sama Adit harus diselesaikan. Gue butuh semua penjelasan dari Adit.

"Cantika!"

Melihat Cantika yang berjalan beberapa meter di hadapan gue, langsung saja gue panggil. Dari belakang, gue tahu kalo dia memang Cantika, sahabat gue.

Cantika menolehkan wajahnya ke belakang, langkahnya juga berhenti. Begitu tatapan gue dengan Cantika saling bertubrukan, lekas gue berlari menghampirinya.

"Ayana," cicit Cantika.

Gue tersenyum, "pagi Can!"

"Pagi juga Na," balas Cantika pendek, kami terus berjalan maju ke depan. Sejenak, keheningan merambat diantara gue dan Cantika. Kami berdua sama-sama diam.

"Na ...," panggil Cantika pelan, gue pun segera menatapnya. Satu alis gue menukik ke atas.

"Iya Can, kenapa?" tanya gue.

Cantika nggak langsung ngomong, dia sepertinya bimbang, bibirnya sudah terbuka, tapi detik berikutnya sudah tertutup lagi. Sepertinya Cantika bimbang sendiri. Gue hanya memberikan waktu untuk dia berpikir sejenak dan merangkai kata-kata didalam tempurung kepalanya.

"Ayana, lo nggak pa-pa, kan?" tanyanya kemudian.

Gue menatap nanar ke arah Cantika, tersenyum masam. Kemudian wajah gue kembali mengarah ke depan. Ya, gue baik-baik aja, kecuali hati gue yang seperti disayat oleh pisau tajam dan ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang