dua tiga

2.7K 91 12
                                    

PANDU POV

Sesuatu yang paling didambakan pada akhir pekan adalah kasur yang sangat empuk. Aku sangat merindukan tidur sampai siang hari. Kegiatan yang kini jarang aku lakukan. Entah karena mama yang tiba-tiba membangunkan dengan serangkaian omelan yang nggak bisa aku cegah, atau mungkin saja ada keperluan mendesak yang mengharuskan aku berangkat ke rumah sakit, dan atau mungkin yang satu ini. Aku disuruh datang lagi ke rumah Tante Wiwi.

Menurut informasi yang mama katakan, aku diminta datang ke rumahnya karena ada sesuatu yang mau beliau sampaikan. Aku nggak tahu apa itu, tapi sepertinya penting. Mama memang sangat berlebihan, membuatku jadi tidak mempunyai waktu untuk tidur sampai siang seperti yang aku inginkan.

Aku mencabut ponsel yang semalam aku charger, baterainya sudah penuh. Aku mengaktifkan benda pipih itu, serangkaian nada notifikasi berbunyi saling susul menyusul. Hingga ada satu panggilan tak terjawab dari Tante Wiwi, mama Ayana. Mungkin sebelum menghubungi mama, Tante Wiwi sudah menghubungi nomorku terlebih dahulu. Tapi dikarenakan ponselku nggak aktif, mama adalah jalan pintas Tante Wiwi.

Setelah sudah selesai bersiap-siap, aku menghampiri mama yang sedang duduk di kursi dapur, sedang sarapan pagi bersama papa.

"Mau ke mana mas pagi-pagi udah keluar, hari libur kan ini? Puas-puasin tidur aja sana, buat melepas penat."

Suara papa membuatku langsung menatap beliau yang sedang lahap memakan makanan masakan mama yang memang  terasa lezat. Dari baunya saja sudah terciup enak.

Aku tersenyum, "maunya sih gitu Pa, tapi tiba-tiba aja Tante Wiwi nyuruh Pandu ke rumahnya," jawabku memberikan penjelasan. Kemudian aku membelokkan tatapan, kali ini menatap Mama. "Emangnya Tante Wiwi nggak ngomong mau bahas tentang apa sama mama? Kenapa Pandu di suruh ke sana?"

"Mama juga nggak tau, makanya kamu buru-buru ke sana. Cari tau sendiri."

"Emangnya harus sekarang banget ma?" tanyaku sambil duduk di kursi, dihadapan kedua orang tuaku.

Mama mengendikkan bahu setelah berhasil memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutku sendiri. "Kayaknya enggak sih, nunggu kamu ada waktu luang aja. Tapi lebih cepat bukannya lebih baik, kan?"

"Ya udah Pandu berangkat sekarang aja."

"Nggak makan dulu mas?" tanya papa, "enak banget loh masakan mama ini."

"Belum lapar, entar aja deh Pa."

"Ya udah, minum aja dulu tuh teh kamu, mama udah bikinin. Mumpung masih anget," sambung mama.

Aku mengangguk, nggak menolak kali ini. Selanjutnya, aku ijin pergi ke rumah Tante Wiwi. Sejujurnya, aku sendiripun sangat ingin tahu apa yang sebenarnya tante Wiwi mau omongin. Ini nggak seperti biasanya. Dan jujur saja, aku sedikit bingung dan merasa takut.

Oke Pandu, kamu harus tenang. Bisa jadi ini hanya persoalan yang sepele, kamu hanya perlu datang dan menyimak apa yang calon mertua kamu itu akan bicarakan. Aku memang akan serius dengan pernikahanku dengan Ayana. Demi papa dan mama, demi diriku juga.

Saat aku sampai di rumah tante Wiwi, perempuan yang sebaya dengan mama itu sudah menungguku. Beliau mengajakku untuk duduk di taman samping rumah, alasannya agar nggak melulu di ruang tamu. Takut aku bosan katanya. Padahal aku merasa biasa saja. Tapi tak masalah, suasana yang baru akan membuatku menjadi lebih rileks dan nyaman.

Aku duduk di kursi yang terpisah dengan tante Wiwi. Dihadapan kami sudah ada meja bundar dengan dua buah cangkir yang berisi teh hangat.

"Nak Pandu," panggil tante Wiwi.

Aku langsung menoleh ketika tante Wiwi ketika memanggil namaku. "Ya Tante?"

"Kamu tahu kan kenapa tante nyuruh kamu dateng ke sini?"

Pelan, aku menganggukkan kepala. "Iya tante, mama tadi udah nyampein. Mohon maaf juga karena saya nggak bisa angkat telepon dari tante, ponsel Pandu nggak aktif."

Tante Wiwi tersenyum mengerti. "Memang, ada sesuatu yang mau tante tanyain ke kamu. Dan ini ada hubungannya dengan kamu, Ayana, dan pernikahan kalian nanti."

"Tante mau nanya apa? Saya janji bakal jawab semaksimal yang Pandu bisa," jawabku terdengar mantap.

Wanita paruh baya disebelahku ini nggak langsung menjawab, beliau terdiam beberapa detik, sementara aku sendiri menunggu dengan harap-harap cemas. Sepertinya ini terlihat serius, nggak sesepele yang aku bayangkan sebelumnya. Karena menyangkut pernikahan.

"Nak Pandu ada perasaan buat Ayana?"

Sekarang giliran aku yang terdiam, shock mendengar pertanyaan seperti itu dari bibir tante Wiwi. Aku berdehem, berusaha menguasai diri.

"Nggak sulit buat mencintai Ayana tante, saya pun masih belajar buat melakukan itu. Tapi semua itu pasti butuh waktu, saya dan Ayana juga baru kenal belum lama-lama banget. Maka dari itu, saya bakal sering datang ke sini dan berusaha mengakrabkan diri dengan anak perempuan tante."

Tante Wiwi tersenyum, seolah puas dengan jawabanku yang panjang lebar itu. "Iya, tante paham. Butuh waktu memang buat mencintai seseorang, nggak serta merta langsung kamu langsung mencinta Ayana. Tapi Tante sangat yakin kalo kamu adalah pasangan yang baik buat anak tante. Pesan tante cuma satu, jangan pernah mengecewakan Ayana."

Aku mengangguk mantap. "Saya bakal serius sama Ayana tante, saya janji akan membuat Ayana bahagia. Mengecewakan seorang perempuan adalah sesuatu yang sangat saya hindari."

"Tante percaya sama kamu, maka dari itu tante nggak nolak sama sekali waktu orang tuamu membicarakan persoalan perjodohan ini dengan tante."

"Makasih tante udah percaya sama saya." Aku tersenyum.

"Ada satu hal yang sebenarnya mau tante tanyakan ke kamu," lanjut tante Wiwi, aku diam saja, tapi tatapanku masih nggak beralih dari wajah tante Wiwi. Aku menunggu wanita itu melanjutkan kalimatnya. "Ayana ngasih tahu tante kalo kamu ... Beberapa kali jalan sama perempuan."

Aku berusaha tenang. Masih belum mengerti kenapa Ayana ngomong seperti itu kepada mamanya. Diamnya aku menarik perhatian tante Wiwi, beliau kemudian kembali bertutur kata.

"Di supermarket, katanya Ayana lihat kamu sama seorang perempuan. Nggak cuma itu, Ayana juga lihat nak Pandu bareng sama perempuan yang sama di restoran beberapa hari yang lalu. Kalo nak Pandu nggak keberatan, boleh kasih penjelasan ke tante?"

Sekarang aku jadi paham siapa perempuan yang sedang dibahas kali ini. Tiara, rekan kerjaku. Aku dan Ayana memang bertemu di supermarket waktu itu, dan tentu saja Ayana melihat Tiara bersamaku. Tapi restoran? Ayana ada di restoran waktu itu juga? Tapi aku nggak lihat batang hitungnya. Fokusku saat itu pasti masih sedang berkelana memikirkan Kat.

"Mungkin di sini ada kesalahpahaman sedikit tante," ujarku kemudian.

"Bisa kamu jelasin sesuatu?"

"Yang Ayana lihat memang benar, saya pergi sama perempuan. Tapi, perempuan itu bukan pacar saya atau semacamnya. Dia cuma rekan kerja saya tan, namanya Tiara. Saya sudah bekerja bareng dengan Tiara sudah lama, mungkin sudah sekitar tiga tahunan."

Aku kemudian merogoh ponsel yang berada di saku, kemudian mencari foto Tiara yang sedang berfoto bersamaku.

"Ini tante orangnya." Aku menunjukkan foto tersebut kepada tante Wiwi. "Saya sudah anggap dia sebagai adik saya sendiri. Saya nggak ada perasaan apapun dengannya, begitupun Tiara sendiri. Tante nggak usah khawatir, saya memang mau serius sama Ayana."

Tante Wiwi kini mengerti, dia mengangguk beberapa kali. "Maaf nak Pandu, bukannya tante nggak percaya sama kamu atau apa, tapi Ayana sendiri, kamu kayaknya sudah mulai tahu gimana sifat anak itu."

"Nggak papa tante, wajar saja kok. Bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Kalo perlu, nanti saya bakal jelasin ke Ayana sendiri."

Tante Wiwi tiba-tiba menepuk-nepuk pundakku. "Tante nggak salah milih kamu, kamu orang yang sangat baik nak Pandu. Tante sangat-sangat percaya kalo nak Pandu bakal jadi imam yang bisa menuntun Ayana ke jalan yang lebih baik."

"Aamiin Tante. Makasih sudah percaya sama saya," sahutku sopan. Nggak lupa menunjukkan senyuman.

"Tante ada rencana satu hal, dan ini sudah tante bahas sama orang tua kamu jauh-jauh hari."

"Apa itu Tante?"

"Apakah nak Pandu bersedia untuk mempercepat tunangan nak Pandu dengan Ayana?"

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang