63. Jebakan Kat

1.7K 153 22
                                    

PANDU POV

"Maafin mas Pandu Ayana. Mas pasti bikin Ayana khawatir dan cemas. Maaf tadi malam mas Pandu nggak pulang dan nggak ngabarin Ayana."

Permintaan maaf diiringi dengan suara serak dan sarat akan penyesalan, membuat gue menghela napas panjang. Pelukan mas Pandu semakin erat, dagunya berada di pundak gue. Mas Pandu nggak tahu betapa sangat khawatirnya gue kemarin malam. Gue takut ada kejadian nggak mengenakan yang terjadi kepadanya. Awalnya gue kira mas Pandu lagi kumpul-kumpul sama rekan kerjanya, membahas apa gitu. Dan gue berusaha menekankan diri untuk tenang dan berpikir positif. Sampai akhirnya malam menjelang dan semakin larut. Kecemasan gue semakin membludak keluar. Mas Pandu belum pulang juga. Kalau mas Pandu ada keperluan yang harus diselesaikan malam itu juga, seharusnya dia ngabarin gue. Seenggaknya agar gue bisa tenang dan nggak panik. Apalagi gue orangnya suka menebak-nebak sesuatu yang nggak pasti akan terjadi.

Dan sampai larut malam pun, sama sekali nggak ada kabar darinya. Gue pun menelpon nomor mas Pandu, tapi hapenya nggak aktif. Disitu gue semakin takut. Dan sepanjang malam itu, kelopak mata gue nggak mau terpejam. Gue nggak bisa tidur, terlalu sulit untuk memejamkan mata disaat rasa khawatir secara terang-terangan masuk ke hati gue.

Pada akhirnya, gue pun tidak bisa bertahan lagi. Sekitar pukul tiga pagi, gue baru terlelap dengan harapan mas Pandu tidak kenapa-kenapa.

Gue cuma tidur tiga jam doang. Pukul enam pagi belum ada tanggapan tanda-tanda kepulangan mas Pandu. Perasaan gue semakin cemas dan kalut. Gue sempat berpikir, mungkin saja memang ada hal yang membuat mas Pandu nggak bisa pulang. Dan disitu perasaan gue sudah nggak karuan banget. Sampai akhirnya, kini mas Pandu pulang dengan wajahnya yang terlihat sangat pucat dan berantakan.

Semua khawatiran yang gue rasakan sudah lenyap sepenuhnya, digantikan oleh perasaan lega yang tak terkira. Gue memejamkan mata sembari mengelus punggung lebar mas Pandu. Sekarang nggak masalah, yang penting mas Pandu sudah pulang. Gue nggak mau memusingkan masalah itu lagi.

"Ayana maafin mas Pandu, nggak pa-pa mas. Ayana memang khawatir banget tadi malam karena nggak biasanya mas Pandu nggak pulang. Tapi sekarang Ayana lega mas Pandu udah pulang. Ayana seneng."

Mas Pandu melepaskan pelukannya, bibirnya menyunggingkan senyuman paling menawan yang gue lihat. Mas Pandu mengangguk sambil menangkup wajah gue dengan kedua telapak tangan lebarnya. "Sekali lagi maafin mas Pandu ya. Mas janji nggak bakal bikin Ayana cemas lagi."

"Udah mas, nggak pa-pa kok." Gue memang sepenuhnya udah nggak memikirkan itu lagi. "Ayana udah maafin mas Pandu. Ayana sebelumnya memang mikir yang enggak-enggak, takut mas Pandu kenapa-napa. Belum lagi hape mas Pandu nggak bisa dihubungi."

Kepala mas Pandu maju ke depan dan menempelkan dahinya di kening gue. Gue sempat terkejut dengan sesuatu yang tak terduga ini, tapi gue diam saja. Gue nggak menolaknya.

"Maafin mas Pandu."

"Mau sampai kapan mas Pandu minta maaf terus?" Serius, gue nggak mempermasalahkannya lagi. Mendengarkan permintaan maaf terus menerus dari bibir mas Pandu membuat gue merasa sangat jahat dan tidak enak.

"Mas Pandu salah sama Ayana. Pasti Ayana tadi malam nggak bisa tidur,kan? Kantung mata Ayana menghitam. Dan itu gara-gar—"

Spontan saja gue memajukan wajah dan melumat bibir mas Pandu agar dia tidak perlu melanjutkan ucapannya. Ciuman refleks itu terjadi sepuluh detik saja. Gue memundurkan kepala lagi.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang