64. Bom Meledak

2K 167 102
                                    

AYANA POV

"Gimana mas rasanya?" Dengan harap-harap cemas, gue menatap mas Pandu setelah telur goreng buatan gue lepas landan dimulutnya. Gue bahkan berhenti mengunyah hanya untuk menatapnya. Semoga saja, gue nggak mengecewakan mas Pandu.

Tatapan gue sama sekali nggak mau beralih dari wajah mas Pandu, masih menunggu penilaian atas masakan gue. Etdah, gue udah ngerasa kayak menghidangkan makanan di hadapan chef profesional untuk dinilai hasil masakan gue ini.

"Rasanya itu." Gue menahan napas saat mas Pandu menggantung kalimatnya. "Rasanya enak banget Ayana. Mas Pandu suka, rasanya pas, nggak keasinan atau terlalu hambar. Mas Pandu suka banget." Seolah mau membuktikan tanpa omong kosong doang, mas Pandu menyuapi mulutnya dengan telur goreng buatan gue lagi. Dan kini, piringnya sudah benar-benar kosong.

Gue sangat terharu mendengar respons dari mas Pandu. Perasaan gue melambung tinggi. "mas Pandu serius, kan?"

"Ayana, kalau mas Pandu nggak serius, nggak mungkin mas habisin makanan buatan Ayana."

Gue mengangguk cepat. "Ayana percaya mas, alhamdulillah banget kalau mas Pandu suka sama masakan Ayana. Itu berarti, kali ini Ayana nggak gagal. Makasih ya mas. Ayana seneng banget."

"Mas yang harusnya makasih sama Ayana. Ini enak banget, Ayana udah semakin jago masaknya."

Siapa yang nggak senang jika dipuji? Apalagi oleh suami sendiri. Ya meskipun apa yang gue masak cuma telur dadar doang, tapi seenggaknya gue sudah ada progres. Gue berkembang, dan gue cukup bangga sama diri gue sendiri. Setelah ini, gue berjanji bakal rajin belajar memasak. Gue pasti bisa. Gue juga rasanya senang banget melihat mas Pandu yang makannya lahap banget. Betapa beruntungnya gue mempunyai suami seperti mas Pandu yang nggak suka neko-neko. Gue sangat bersyukur.

"Ayana janji bakal belajar masak mas, biar mas Pandu semakin suka."

"Dan mas yakin kalau Ayana pasti bisa. Semangat ya!"

Gue mengangguk semangat. Acara sarapan pagi bersama mas Pandu sudah selesai. Gue pun mulai bangkit berdiri, membereskan semua alat makan yang perlu dicuci.

"Mas Pandu bantuin Ayana, ya?"

"Eh nggak usah mas," ucap gue, langsung menolak tawaran dari mas Pandu. Gue menggeleng pelan, "mas Pandu duduk aja, biar Ayana sendiri aja."

"Ya masa cuma duduk doang. Nggak pa-pa kok, kan cuma nyuci piring," bantah mas Pandu.

Gue tetep menggeleng, masih nggak mau setuju atas tawaran itu. "Nggak mas, ini kan tugas Ayana. Mas Pandu ikutin apa kata Ayana atau Ayana bakal marah?"

"Iya iya, nurut ini." Mas Pandu akhirnya mengalah juga, dia menatap gue dengan bibirnya yang cemberut. Gue tersenyum, sedikit terkekeh pelan melihat ekspresinya yang sangat lucu. Gue mendekat dan mencubit pipi mas Pandu. "Bentar ya, nggak lama kok."

"Iya iya terserah."

"Dih, kok marah?" Gue tertawa kecil lagi.

Mas Pandu melotot. "Siapa yang marah? Enggak kok," ujarnya sambil menggeleng cepat.

"Ya udah, Ayana nyuci piring sekarang aja." Sebelum sempat melangkah menghindar dari mas Pandu, gue mengecup pelan pipinya. Hanya sekilas, tidak lebih dari tiga detik malahan. Gue tersenyum lagi, lalu memilih untuk mencuci piring dan peralatan masak lainnya.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang