49. Mengakui

1.9K 141 2
                                    

Mbak Tiara emang beneran tinggal di sini. Mulut gue memang berkata kalau gue ngijinin dia tinggal di sini, tapi tidak dengan hati gue. Gue merasa ragu dan sedikit takut. Ini rumit, gue sendiri juga nggak bisa jelasin kenapa gue mempunyai perasaan kayak gitu. Oke, sepertinya gue terlalu berlebihan, mbak Tiara tinggal di sini cuma sehari aja. Gue nggak perlu merasa takut, lagipula mbak Tiara adalah perempuan baik-baik. Gue harus sopan dan nggak boleh berpikiran yang enggak-enggak.

Sehabis makan malam bareng, gue emang langsung pamit pergi ke kamar dan meninggalkan mbak Tiara bareng Pandu di dapur. Sepanjang makan malam itu, kebanyakan gue cuma diem dan menyahut seadanya saja jika diperlukan. Perbincangan lebih dikuasi oleh mbak Tiara dan Pandu.

Dan jujur aja, gue muak dengernya. Gue seolah adalah makhluk tak kasat mata diantara mereka. Oleh sebab itu gue pamit undur diri dengan dalih mau mengerjakan tugas dari Dosen. Tapi sekarang, belum ada seperempat jam di kamar, gue sudah pengin tahu apa yang sedang Pandu dan mbak Tiara lakukan di luar.

"Pura-pura pergi ngambil minum di dapur kayaknya bakal jadi ide yang cukup baik," gumam gue pelan. Merasa alasan itu bagus, gue pun mengangguk dan langsung keluar dari kamar lagi.

Sebenernya gue nggak perlu pura-pura gitu hanya pengin melihat Pandu dan Mbak Tiara lagu ngapain. Ini kan rumah mama gue, mau jungkir balik sampai mampus sekalipun, gue sah-sah aja.

Sebelum gue menuruni anak tangga, suara tawa mbak Tiara terdengar kenceng banget sampai terdengar di lantai atas. Gue berhenti, memilih menjeda melangkah dan melihat apa yang membuat mbak Tiara nampak bahagia.

Gue berpindah posisi ke pembatas besi, tangan gue menyangga di sana, tatapan gue mengarah ke bawah. Dan detik itulah bola mata gue langsung melotot. Mbak Tiara sama Pandu lagi kejar-kejaran layaknya anak kecil.

Gue sebenarnya mau mencibir, tapi entah kenapa gue juga mau ada di posisi mbak Tiara yang lagi dikejar oleh Pandu. Tangan gue terkepal kuat, bibir merapat serta gigi gue bergemeretak. Gue kesel sendiri lihatnya. Maksudnya apaan coba mereka ini?

Tarikan napas gue sudah berubah menjadi kenceng banget. Bibir bagian bawah juga gue gigit keras-keras. Mereka asik becanda, sesekali Pandu menggelitik perut Mbak Tiara.

"Ck, dasar kekanakan!" Gue mencibir sambil memutar bola mata. Tapi sialnya, tatapan gue nggak mau pindah dari mereka. Sampai akhirnya gue menahan napas ketika mereka ambruk ke sofa dengan tubuh mbak Tiara yang menindih tubuh bagian atas Pandu.

Yang membuat gue semakin meradang adalah, mbak Tiara sepertinya menikmati momen itu, dia nggak mau bangkit berdiri. Kesal sendiri, gue pun lantas memalingkan muka. Disusul oleh tubuh gue yang berpindah dari posisi gue saat ini. Pilihan gue saat ini adalah balik ke kamar.

Emosi sudah menguasai tubuh gue, membuat gue menutup pintu dengan gerakan cepat. Bunyi bantingan pintu terdengar sangat kuat. Tapi gue nggak peduli.

Wajah gue sudah memerah ketika gue lihat ke cermin. Berusaha menenangkan diri, gue pun memilih membuka balkon kamar, lalu berjalan ke luar. Gue duduk di kursi yang tersedia di balkon luar, menatap ke langit yang penuh dengan bintang.

Perasaan gue sudah agak sejuk dan lebih tenang. Angin malam yang dingin, dengan tanpa permisi segera menerpa permukaan kulit gue. Memejamkan mata sejenak, gue pun menarik napas dalam-dalam. Bayangan wajah Pandu dan mbak Tiara berusaha gue enyahkan dari otak gue.

"Ayana."

Gue sudah hanyut dalam pikiran tenang gue ketika tiba-tiba saja suara yang sangat gue kenali terdengar. Spontan gue membuka mata, langsung menoleh menuju asal suara itu berasal. Suara yang barusan saja memanggil nama gue.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang