PANDU POV
Restoran yang aku datangi bersama Ayana cukup mewah sebenarnya, tempatnya luas dan nyaman. Membuat siapa saja betah berlama-lama di sini. Termasuk aku sendiri. Belum lagi restoran ini memiliki mushola, jadi aku tidak perlu repot-repot keluar dari sini untuk mencari tempat untuk sholat. Itu salah satu point plus yang aku berikan untuk tempat ini. Tempatnya yang strategis, membuat restoran yang belum pernah aku kunjungi ini memiliki banyak pelanggan. Entah itu karena makanan di sini memang enak dan harganya terbilang murah atau karena tempat ini sungguh menakjubkan dan kekinian yang membuat orang-orang rasanya ingin tinggal di sini. Entahlah, aku tidak tau. Tapi yang pasti, aku sendiri merasa nyaman.
Pukul satu siang lebih sepuluh menit, aku kembali menuju meja, di mana Ayana juga duduk di sana. Ketika aku sampai dan kembali duduk di tempat semula, kulihat Ayana kembali sibuk sama ponselnya. Entah ada apa di ponselnya itu, sepertinya dia sangat fokus sampai kehadiranku saja tidak dia sadari.
Dan satu hal lagi yang baru aku sadari, belum ada apapun di meja. Ayana belum pesan makanan?
Memperbaiki posisi duduk lebih nyaman, aku pun berdehem pelan. "Ayana, kamu belum pesen makanan?" tanyaku lembut.
Respons yang diberikan Ayana sungguh diluar dugaanku. Gadis itu tergelak dengan bahu terguncang. Ponsel ditangannya bahkan nyaris saja terjatuh. Dia kemudian natap ke arahku dengan tatapan yang enggak pernah berubah, sinis dan kesal. Seolah kehadiranku di dekatnya selalu membuat dia meradang. Sepertinya memang begitu.
"Ish ... Ngagetin gue aja tau nggak, sejak kapan lo duduk di situ? Datang nggak ngomong-ngomong, nyebelin!"
Gadis itu mengomel seperti biasa. Hal yang sudah aku anggap lumrah dan nggak aneh lagi. Wajahnya cemberut dan pipinya memerah. Entah kenapa aku justru merasa gemas sendiri kalau Ayana meluapkan emosinya seperti ini.
"Barusan aja, kamu lagi fokus main hape waktu saya datang ke sini."
Ayana cuma memutar bola matanya. Aku pun tersenyum tipis sebelum mengajukan pertanyaan yang sama. "Jadi gimana? Kamu udah pesen makanan? Kok nggak ada apa-apa di meja?"
"Gue udah mesen, sabar dikit dong! Yang pesen makanan bukan cuma lo dan gue aja di sini. Banyak pelanggan lainnya juga. Koki juga manusia, dia butuh waktu buat masak dan nyiapin pesanan," jawab Ayana menggebu-gebu. Jawaban yang sebenarnya tidak kubutuhkan sama sekali. Kenapa dia selalu merespons berlebihan seperti itu? Aku cuma perlu jawaban seperlunya saja.
Namun, aku cuma mengangguk sekali. Bukan salah Ayana jika setiap berada di dekatku dia akan selalu meledak-ledak seperti ini. Aku memang orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya, tentu saja Ayana akan menolak kehadiranku. Mungkin untuk saat ini, aku tidak tahu nanti untuk kedepannya.
Tidak lama setelah itu, sekitar sepuluh menitan aku duduk, seorang pelayan datang ke meja kami. Bukan hanya satu, tapi tiga sekaligus. Iya, tiga. Aku nggak mungkin salah hitung, aku pria dewasa yang nggak perlu menghitung ulang untuk memastikan bahwa hitunganku tidak meleset.
Ketika pelayan itu meletakkan berbagai macam hidangan di atas meja. Sudah termasuk minuman sekaligus. Aku masih tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa banyak sekali makanan yang diantar ke mejaku? Ini pasti salah, siapa yang bakal menghabiskan semua makanan ini?
"Mbak, kayaknya ada yang salah di sini. Kita nggak pesan makanan sebanyak ini," ucapku kepada satu satu pelayan yang berada di dekatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...