AYANA POV
Hari ini gue udah cukup merasa bahagia lantaran gue terhindar dari masalah dengan dosen killer, hukuman, dan apapun itu yang pastinya membuat gue merasa dirugikan. Semuanya berjalan lancar, gue bisa tersenyum dan tertawa bersama Cantika, membahas hal-hal random yang pastinya lebih asik ketimbang mendapatkan hukuman menyebalkan.
Sampai akhirnya, ekspresi gue yang semula begitu cerah, berubah seketika menjadi mendung, muram, abu-abu, dan teduh. Langkah kaki gue juga langsung terhenti begitu saja, sedangkan tatapan gue nggak lepas dari arah depan. Menatap seorang lelaki tinggi dengan kemeja yang digulung sampai siku. Dia sedang berdiri di dekat pintu mobilnya, satu tangannya yang memakai jam tangan hitam, masuk ke dalam saku celananya.
Gue bahkan sempat menahan napas. Dan segala tindak tanduk gue membuat Cantika merasa keheranan. Tentu saja, awalnya kita mengobrol ringan, asik, dan penuh dengan canda tawa. Lalu dalam waktu seperkian detik saja, gue tiba-tiba membungkamkan mulut. Cantika pasti berpikir kalo gue lagi kesambet setaan.
"Ayana! Kenapa berhenti?" Suara Cantika berserta tepukan pelan di bahu membuat gue tersentak, gue mengerjapkan mata pelan, menoleh ke samping. Gue mengangkat sebelah alis, menatap dan mendapati Cantika yang raut wajahnya nggak bisa gue deskripsikan.
"Sori Can, gue kayaknya nggak bisa mampir ke kafe depan," ujar gue, langsung pada intinya. Cantika melotot, bingung.
"Ha? Kok tiba-tiba? Lo kenapa sih? Ada masalah apa? Perasaan beberapa menit yang lalu lo ketawa kenceng banget."
"Gue juga maunya pergi Can," balas gue, "tapi setelah dia muncul, kayaknya gue susah kalo mau pergi sama lo."
"Maksud lo?" Cantika masih nggak ngerti. "Ngomong apaan sih lo Na? Nggak jelas banget sumpah. Dia siapa yang lo maksud? Adit?"
Gue menghela napas pelan, dengan perasaan campur aduk, gue menangkat tangan dan menunjuk ke arah lelaki yang gue maksud sebelumnya. Lelaki itu nampaknya belum menyadari kehadiran gue di sini.
"Itu," sahut gue, sedikit melirik Cantika yang lagi menyipitkan mata, untuk memperjelas pandanganya.
"Siapa dia emangnya? Apa hubungannya sama lo? Dan apa hubungannya dengan rencana kita yang mau nongki-nongki cantik di kafe depan sana?"
"Dia ... Orang yang bentar lagi mau merusak masa depan gue. Bukan, gue ralat, bahkan saat ini dia udah membuat gue lebih rusak."
Cantika menatap gue dan orang yang gue tunjuk secara bergantian. Seolah baru sadar sesuatu, Cantika menutup mulutnya dengan telapak tangan, disusul matanya yang mengerjap cepat.
"Maksud lo, dia ..."
"Iya, nggak salah lagi. Tebakan lo nggak meleset. Dia itu ...."
"Calon suami lo!" sambung Cantika cepat, lengkap dengan suara cemprengnya yang membuat gue mendelikkan mata dan buru-buru menutup mulut nggak ada akhlak milik Cantika.
"Nggak usah teriak-teriak monyet, gue udah bilangin ini. Kalo ada yang denger gimana?" Gue menggeram jengkel. Sedangkan Cantika cuma nyengir lebar. Untung saja di sekitar kita berdua nggak ada yang lewat. Benar-benar keberuntungan bagi gue. Coba kalau posisi kita saat ini ada di tempat ramai, dan akibat omongan Cantika itu, semua orang natap ke arah gue. Kalau hal itu sampai benar-benar terjadi, gue nggak tanggung-tanggung bakal jambak rambut Cantika sampai akar-akarnya. Biar dia botak permanen kalo bisa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...