Jari tangan gue nampak bergetar sebelum menekan tombol send. Gue memejamkan mata, menguatkan diri untuk mengirim pesan yang sudah gue ketik buat Adit. Gue sempat ragu sejenak, menimang lagi apakah ini adalah sebuah pilihan yang baik. Apakah hubungan gue sama Adit benar-benar sudah berhenti sampai di sini saja?
Tentu saja rasa bimbang itu akan segera masuk ke dalam relung hati gue. Rasanya aneh dan nggak bisa dipercaya sampai saat ini jika hubungan gue dan Adit akan segera berakhir.
Klik!
Pesan terkirim, tapi bukan gue yang memencetnya, lantas gue melotot dan menoleh ke samping kiri, menatap horor kepada Cantika.
"Cantika ih!" Gue menggeram kesal, bibir sudah mencebik pelan.
Cantikan cuma nyengir kecil, merasa nggak bersalah dia. Sedangkan gue langsung memutar bola dan mengeluarkan napas banyak-banyak.
"Lagian lo lama banget, tinggal pencet aja apa susahnya sih? Kan gue gemes sendiri," ucap Cantika, membela dirinya.
Pesan sudah terlanjur dikirim buat Adit, pacar gue yang bentar lagi bakal jadi mantan gue. Centang dia berwarna abu-abu, belum dibaca, tapi sudah masuk di hapenya. Gue menunggu dengan bersabar, sekaligus merasa resah sendiri. Lewat pesan singkat tersebut, gue mengatakan bahwa jam tiga sore, gue minta Adit buat nemuin gue di taman belakang kampus, tempat itu selalu sepi, nggak banyak mahasiswa yang berada di sana. Dan gue pikir, pembahasan gue dan Adit akan lebih leluasa tanpa banyak didengar oleh orang lain.
"Can."
"Hm?"
"Apa pilihan gue nggak salah kali ini?" tanya gue tanpa menatap Cantika, sorot mata gue mengarah ke bawah. Gue benar-benar takut kalau salah mengambil langkah.
Cantika menyentuh pundak gue. Mengelusnya pelan, dan jujur aja gue jadi lebih tenang dan kekontrol.
"Santai aja Na, pilihano sudah tepat seratus persen kok, nggak ada yang salah sama jajan yang lo pilih. Lo emang harus putus dari Adit karena dia sudah selingkuh. Ambil baiknya aja Na. Lebih baik tahu lebih cepat daripada menyesal belakangan."
Gue lantas mendongak ke atas, napas keluar dari mulut dengan kasar, hingga kemudian gue menoleh menatap Cantika. Ucapan Cantika selalu membuat gue jauh lebih baik. Senyuman tipis gue langsung terbit.
"Makasih Can, lo emang satu-satunya sahabat yang paling ngertiin gue."
"Sama-sama Na, itu memang sudah jadi tugas seorang sahabat, kan?" Cantika terkekeh pelan. Kemudian dia menjulurkan sebuah tisu kepada gue. "lap air mata lo, cowok nggak bener tukang selingkuh kayak Adit nggak perlu ditangisi. Gue yakin lo bisa Na."
Gue menerima tisu yang disodorkan oleh Cantika, mengelap wajah gue dengan gerakan pelan. Ya, gue pasti bisa lupain Adit. Meskipun itu nggak segampang yang gue pikirkan. Tapi setidaknya gue mau mencoba melepaskan Adit meskipun rasanya berat hati. Merelakan disaat hati tidak mau berkehendak, rasanya sungguh sulit untuk dilakukan.
"Nanti lo temenin gue ya Can?"
"Ketemu Adit?" tanya Cantika.
Gue mengangguk tanpa pikir panjang. "Ya, buat ngomong dan bahas semua masalah ini. Gue nggak siap sendiri, gue ragu, dan gue juga takut."
"Na, lebih baik lo selesaiin masalah dengan Adit sendiri aja deh Na. Bukannya gue nggak mau bantuin dan nemenin lo, ini lebih kepada karena lo sama Adit butuh privasi, butuh menyelesaikan masalah ini berdua."
"Tapi Can, gue beneran nggak berani sendiri. Mau, ya?" Gue berusaha meyakinkan Cantika, semaksimal mungkin gue menampilkan raut wajah sememelas mungkin. Oke, itu memang menjijikkan dan alay, tapi nggak ada cara lain supaya hati Cantika tergerak buat ngebantu gue. Tangan Cantika gue pegang erat, dia masih diam aja. Sepertinya sedang menimang-nimang sebuah permintaan yang tadi gue minta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...