Memohon sudah tidak ada gunanya, Ayana benar-benar tidak mempertimbangkan apa yang aku katakan kepadanya, dia memilih pergi dengan pacarnya itu. Permintaanku kepadanya tadi agar dia tetap singgah di sini dan nggak pergi ke mana-mana, sepertinya hanya dianggap angin lalu saja oleh Ayana.
Ayana masih sama seperti sebelumnya, belum membuka pintu hatinya agar bisa kumasuki. Bahkan hanya sekedar memberikan celah sedikitpun tidak. Dia sangat tertutup, seolah aku racun yang harus dia hindari.
Menyadari Ayana yang lebih mementingkan pacarnya itu, ketimbang aku sendiri yang sudah menjadi tunangannya, calon suaminya kelak, membuatku sedikit frustrasi dan sebal.
Apa yang salah dengan diriku? Aku hanya mencoba ingin dekat dengan calon istriku, aku bahkan sudah mulai mencintai Ayana sepenuh hatiku. Tapi kenapa bisa selulit ini buat dijalankan?
Tidak, aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus banyak bersabar dan membutuhkan waktu lebih lama lagi, mungkin, agar Ayana bisa menerimaku seutuhnya.
"Ayana, sepertinya kamu sudah membuatku jatuh cinta," ujarku, lebih kepada diri sendiri, tatapanku mengarah ke daun pintu yang beberapa menit lalu tertutup dari luar.
Aku merasakan kekesalan yang memuncak saat Ayana beneran pergi dengan pacarnya itu. Menaiki motor dan pergi begitu saja. Aku sepertinya cemburu, dadaku memanas melihat pemandangan itu, napasku juga berubah nggak beraturan. Aku meradang sendiri. Ingin sekali aku memisahkan Ayana dan pacarnya itu.
Kalau bukan perasaan cemburu, namun apa yang aku rasakan ini? Otot rahangku mengeras, gigi bergemeretak, dan tangan sudah terkepal kala melihat Ayana memeluk erat pinggang pacarnya itu saat melesat dengan motornya.
Aku baru menyadarinya sekarang, bahwa aku memang sudah mencinta Ayana sepenuhnya, calon istri kecilku.
Seperti tiba-tiba mendapatkannya ide yang sangat brilian, aku mengerjapkan mata. "Kenapa aku nggak ikutin mereka aja?"
Ya! Itu adalah ide yang perlu aku terapkan. Kenapa aku baru kepikiran sekarang? Aku harus tahu ke mana Ayana pergi, ke mana dia menghabiskan waktunya sama pacarnya itu, dan dia ngapain aja. Aku perlu mengetahuinya.
Dan aku rasa, itu tidak melanggar batas. Aku tunangannya, aku tidak melakukan sesuatu yang berlebihan, atau sampai membuat Ayana rugi. Tidak, ini memang harus aku lakukan.
Dengan cepat, aku berlari ke kamar. Menggantikan celana pendek dengan celana panjang, aku tidak perlu mengganti baju, aku hanya perlu mengenakan jaket. Dan aku perlu topi, buat jaga-jaga saja apabila Ayana menyadari keberadaanku.
Tapi sayangnya, aku tidak mempunyai topi. Oke, lupakan masalah tentang topi. Aku bisa membelinya di jalan nanti, atau di manapun itu. Yang penting, aku perlu berangkat sekarang.
Langsung saja aku sambar saja kunci mobil yang tergeletak di atas nakas, secepat kilat aku bergerak menuju garasi untuk mengambil mobil. Ayana kata, dia akan pergi ke mall, dan di sana juga ada bioskop.
Aku segera tancap gas menuju tujuan. Tentu saja aku tertinggal sangat jauh, Ayana dan pacarnya itu sudah melaju lumayan lama. Belum lagi mereka naik kendaraan beroda dua, yang bisa menyalip kendaraan lain dengan cepat. Aku memang sudah ketinggalan. Tak apa, yang penting aku sudah mendapatkan point paling pentingnya, yaitu soal tujuan Ayana.
Membutuhkan waktu dua puluh lima menit untuk sampai di mall yang berada di kawasan Jakarta, aku sudah memarkirkan mobil di parkiran mall, lalu aku melangkah masuk. Sebenarnya, aku tidak yakin bahwa kita mall inilah yang Ayana kunjungi dengan pacarnya, tapi aku perlu berpikir positif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...