AYANA POV
Tidak dimungkiri, tutur kata yang meloncat dari bibir Mbak Kat ssnhat mengusik benak gue. Bagaimana perempuan itu berkata bahwa gue sangat tidak cocok bersanding dengan mas Pandu karena gue nggak bisa berbuat apapun yang bikin mas Pandu merasa puas. Itu benar, sangat tidak salah.
Soal masakan, gue belum benar-benar bisa memasak. Paling banter, gue bisa goreng telor ceplok yang rasanya pasti keasinan, atau enggak pasti rasanya hambar. Masak nasi goreng yang tergolong mudah sekalipun, gue juga belum mahir-mahir amat. Tapi, nggak pernah sekalipun mas Pandu berkomentar terhadap masakan gue. Entah dia nggak mau perasaan gue salut hari atau mungkin saja takut gue marah kalau makanan masakan gue dikomentari. Padahal, gue nggak gitu. Lebih baik mas Pandu ngomong kalau nggak enak, biar bisa gue perbaiki dikemudian hari. Namun tidak, mas Pandu tetap makan dengan lahap, disusul oleh senyuman lebarnya.
Bahkan, mas Pandu yang sebenarnya sering masak buat gue. Soal kebersihan apartemen yang kita tinggali bersama, gue juga nggak rajin-rajin banget. Gue emang pemalas, jujur saja. Nyapu lantai saja nunggu mood, apalagi ngepel pakaian. Singkatnya, gue jarang bersih-bersih. Itu kata kasarnya.
Hal lainnya, gue nggak pernah nyuci pakaian mas Pandu. Kita menyewa jasa laundry. Gue juga nyaris nggak pernah membuatkan mas Pandu teh atau kopi. Dan satu hal lagi, gue nggak pernah mijitin suami gue kalau dia baru pulang dari kerjanya.
Ya benar, setelah dipikir dan ditelaah ulang lebih teliti lagi, banyak sekali kekurangan yang ada diriku gue. Gue belum bisa memenuhi kriteria sebagai istri yang berbakti kepada suami. Terlalu banyak kekurangan, gue nggak bisa apa-apa. Mau marah, tapi mbak Kat nggak salah. Gue memang menyusahkan, gue beban bagi mas Pandu meskipun dia nggak pernah membicarakan masalah ini.
Bagaimanapun juga, mas Pandu lama-lama pasti bakal gedek juga dengan gue yang nggak bisa apa-apa. Terus, apa yang akan gue lakukan sekarang? Menjauh dari mas Pandu bukan pilihan yang menurut gue bagus. Gue sudah terikat pernikahan dengan mas Pandu. Dan nggak ada pikiran yang terbersit diotak gue untuk menjauh dari mas Pandu. Itu gilaa, gue nggak mau. Tapi, jika gue tetap bertahan disamping mas Pandu, gue sadar kalau gue memang terlalu merepotkan.
Satu-satunya hal yang bisa gue lakukan sekarang adalah meminta jawaban sejujur-jujurnya dari mas Pandu, apa pendapat dia tentang gue yang nggak bisa apa-apa ini?
Dan malam ini, sebelum kita sama-sama menutup mata untuk tidur, gue mengubah posisi menghadap ke arah mas Pandu. Gue memiringkan tubuh.
"Mas Pandu ...."
"Hmm?" Mas Pandu segera menolehkan wajahnya ke arah gue, alisnya yang tebal naik ke atas. Sedetik setelah itu, dia ikut tiduran menyamping. Tatapan kami saling beradu, bertubrukan diudara.
Menelan ludah dengan gugup, gue berusaha merangkai kalimat yang pas untuk gue ucapkan. Mata gue terpejam sejenak. "Ada sesuatu yang mau Ayana tanyakan ke mas Pandu."
"Ayana mau nanya apa sayang?" balas mas Pandu cepat, suami gue itu menggeser posisi lebih dekat dengan gue, lalu tangannya yang besar memeluk tubuh gue dengan erat. Jantung gue selalu melompat jika berada sedekat ini dengan mas Pandu.
Berusaha tenang, gue pun mulai mengajukan pertanyaan yang sedari tadi berputar-putar didalam tempurung kepala gue. "Apa alasan mas Pandu mau nikah sama Ayana?"
Mas Pandu diam selama seperkian detik ketika menerima pertanyaan dari gue. Dengan perasaan takut dan campur aduk, gue sedikit mendongak untuk menatap wajahnya. Ekspresi mas Pandu saat ini tidak bisa gue gambarkan secara jelas. Keningnya bergelombang, disertai oleh kedua alisnya yang nyaris menyatu. Mas Pandu sepeti kebingungan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...