Hari kedelapan Pandu nemenin gue di rumah adalah hari dimana hubungan gue dengan Pandu berjalan paling mulus dibandingkan hari-hari sebelumnya yang sudah terlewati. Jika masa-masa terdahulu gue selalu merasa bahwa keberadaan laki-laki itu terasa menjengkelkan, entah kenapa hari ini terasa sangat berbeda. Gue sangat menikmati.
Gue sudah terbiasa dengan keberadaan Pandu yang berada di sisi gue, lemparan tatapan sinis dan perkataan pedas sudah tidak gue perlihatkan lagi. Gue juga bingung kenapa gue berubah gini. Tapi, perubahan ini justru membuat gue merasa sangat senang. Entah kenapa.
Tadi pagi, kita juga masak bareng, meskipun kebanyakan gue sangat merepotkan. Gue sangat minim pengetahuan tentang apapun yang berhubungan dengan dapur. Justru malah Pandu yang lebih tahu, ini kebalik. Gue perempuan yang harusnya lebih pandai dalam urusan dapur.
Tapi, laki-laki yang bisa masak itu adalah sesuatu yang sangat jarang, oleh karena itu gue bakal langsung ngasih dua jempol untuk lelaki jenis ini. Habis memakan masakan kita berdua, yang sebenarnya gue cuma bantu dua puluh persen saja, dan selebihnya hanya membuat kericuhan saja, akhirnya gue dan Pandu bekerja sama mencuci piring.
Gue yang mencuci, laki-laki itu yang mengelap piring kotor. Pagi yang sangat menyenangkan, menurut gue pribadi sendiri. Dan hari itu adalah hari dimana gue merasa sangat dekat dengan Pandu.
Malam harinya, gue dan Pandu bahkan nonton film bareng. Hingga akhirnya gue ketiduran, dan tahu-tahu saja pagi harinya gue sudah berada di tempat tidur.
Gue menggeliat, berusaha meregangkan otot-otot yang mengencang. Hari ini gue berangkat ke kampus siang hari, jadi ketika gue melihat jam di dinding kamar, gue sedikit berdecak jengkel. Pukul setengah delapan pagi, masih lama. Terus gue harus ngapain untuk menghabiskan waktu sebelum berangkat ke kampus?
Duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawa, gue pun akhirnya bangkit berdiri dan langsung pergi ke luar kamar. Niatnya gue pengin ke dapur, biasanya saat gue bangun tidur pagi gini, Pandu ada di sana. Tapi, setelah gue sampai di tempat itu, dia nggak ada. Ke mana? Tumben banget. Apa lagi tidur?
Gue menggeleng, nggak mungkin Pandu tidur. Dia berangkat kerja aja pagi-pagi gini. Dari tingkahnya, gue juga tahu kalau dia adalah bukan tipikal laki-laki yang suka bermalas-malasan. Gue hendak melangkah ke kamar Pandu, hanya sekedar buat mengecek. Tapi, di tengah derap langkah gue, tiba-tiba telinga gue menangkap suara percakapan seseorang.
Mengerem langkah, gue pun memutar tubuh menghadap ke arah suara berasal. Terdengar dari luar rumah. Kening gue langsung mengerut, sedangkan satu alis gue terangkat ke atas. Siapa emangnya di luar?
Rasa penasaran dengan cepat menjalar di tubuh gue, gue pun memutar haluan menuju ke asal suara berada, alih-alih pergi ke kamar Pandu seperti tujuan gue sebelumnya. Semakin langkah gue mendekat, semakin kenceng dan jelas pula percakapan antar dua orang tersebut. Dugaan gue benar adanya, asal suara itu berada dari depan rumah.
Gue berhenti sebentar di depan pintu, bola mata gue kemudian terbelalak.
Langsung saja, tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi, gue pun segera membuka pintu depan, disusul oleh tubuh gue yang keluar dari rumah. Dan apa yang gue pikirkan sebelumnya rupanya nggak meleset. Tebakan gue sempurna.
Entah kenapa, perasaan gue jadi nggak enak.
"Ayana?"
Pandu tiba-tiba berdiri dari duduknya, kemudian dia berjalan menghampiri gue, tersenyum manis kayak biasa, lantas Pandu menuntun gue untuk mendekat ke arah tamunya, yang tak lain dan tak bukan adalah mbak Tiara. Gue berusaha untuk memaksakan senyum, meskipun sebenernya gue enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...