dua empat

3.1K 193 16
                                    

AYANA POV

Apapun hal-hal yang nggak gue turuti dari kata-kata mama, pasti ada saja ancaman yang due dapet. Seperti kayak sekarang ini, gue diminta buat ikut Pandu pulang ke rumahnya. Sejak kapan om-om ini ada di sini? Nyesel banget gue bangun pagi.

Kalian pasti sudah tahu ancaman apa yang mama berikan ke gue. Yap, batul banget. Uang saku dipotong dan mobil di sita. Nyebelin pake banget nggak sih? Tapi gue bisa apa coba selain nurut kemauan mama?

Oleh karena itu, gue sengaja berkutat lama-lama di meja rias, melakukan apapun untuk menghambat kepergian gue.

"Tanpa dandan sekalipun, kamu sudah cantik Ayana."

Celetukan Pandu membuat gerakan gue yang sedang memakai liptint terhenti begitu saja. Gue menatap tajam padanya lewat pantulan cermin. Om-om nyebelin itu sedang berdiri di dekat pintu. Menunggu gue selesai bersiap-siap. Pandu sudah berdiri di sana lumayan lama, gue sangat yakin kalo kakinya pasti pegal. Rasain tuh, makan!

"Diem aja deh, nggak usah ngomong gue cantik. Modus dari om-om kayak lo itu nggak bakal mempan di gue." Seharusnya Pandu merasa tertampar, atau setidaknya tersinggung dengan semua ucapan yang cukup nyelekit dari mulut gue. Tapi, Pandu berlaku kayak biasanya. Wajahnya datar tanpa ada gurat emosi yang tercipta.

"Kamu emang cantik," ujarnya tiba-tiba, membuat gue kaget. Gue sedikit tersentak, lalu memutar tubuh dan menatapnya horor.

"Gue bilang nggak usah modus sama gue!" teriak gue kencang, sudah mulai terpancing emosi. Benar-benar keterlaluan nih om-om, gue nggak sudi dia ngomong gitu ke gue!

"Kamu udah siap Ayana?"

"Belum sama sekali," balas gue ketus. "Lima jam lagi baru gue selesai," lanjut gue seraya memamerkan senyuman sinis. Harapan gue saat ini ekspresi wajah Pandu tegang dengerin gue ngomong kayak gitu, tapi yang gue dapet cuma wajah datar yang nggak jauh dari tembok.

Kesal sendiri, gue bangkit dari duduk dan berjalan keluar dari kamar. Dengan sengaja gue nyenggol lengan Pandu. Oke Ayana, ini cuma kunjungan ke rumah Pandu, kenalan sama nyokap bokapnya, terus gue sudah bisa pulang. Ya, semudah itu. Lebih cepat bakal lebih baik. Dan gue otomatis juga bisa langsung pulang.

Gue nggak denger apapun langkah di belakang gue, kepala gue pun langsung menoleh ke belakang. Pandu masih berdiri di tempatnya, nggak bergerak sama sekali. Kekesalan gue semakin memuncak saja.

"Nungguin apa lagi? Ayo buruan pergi!" sentak gue. Bergegas om-om itu langsung bergerak. Sementara gue berusaha sabar dan mengatur napas yang udah nggak kekontrol. Ngomong ngotot dengan melibatkan urat dileher, bikin tenggorakan gue sakit sendiri. Dan tentu saja, ini semua karena ulah si Pandu.

Mama sedang pergi belanja bulanan di supermarket, sebelumnya sudah izin ke gue dan Pandu. Mama juga berpesan kepada Pandu buat jagain gue, yang jujur saja gue kesel banget dengernya. Gue bukan bocah! Gue bisa jaga diri gue sendiri.

Selama perjalanan, gue banyak diam. Sekarang masih cukup pagi. Jam di pergelangan tangan gue menunjukkan angka sepuluh. Yang terkadang jam segini gue lagi mimpi nikah sama Crish Evans. Untung saja, akhir pekan ini nggak macet. Kalo sampai terjebak macet, gue bakal mengeluarkan jurus sumpah sarapah. Semua nama hewan sekebun binatang bisa gue sebutkan satu-persatu.

"Ini kapan nyampenya sih?" Akhirnya gue nanya, menatap Pandu yang juga langsung menatap gue.

Dia langsung menjawab singkat. "Bentar lagi."

"Jangan lama-lama di sana ya, gue juga punya kegiatan sendiri. Pokoknya gue nggak mau di rumah lo sampai sore."

"Punya kegiatan apa kamu?" Pandu bertanya sambil memicingkan alis. "Tidur maksudnya?" Kekehannya yang terkesan meledek gue, membuat pipi gue langsung memanas.

Kata-kata keras penuh kekesalan langsung meluncur dari bibir gue. "Nggak usah ngejek gue, lo nggak tahu apa-apa." Gue langsung memalingkan wajah ke arah jendela.

Dan gue masih denger kalo Pandu terkekeh pelan. "Saya mau nanya satu hal sama kamu."

"Lagi nggak mau jawab pertanyaan apapun dari lo," jawab gue ketus, tanpa memandang mukanya.

Tapi Pandu tetep ngeyel, dia pun mengajukan pertanyaan yang bikin bulu kuduk gue tiba-tiba saja merinding.

"Kamu nggak ingin tahu siapa perempuan yang kamu lihat di supermarket waktu sama saya waktu itu Ayana?"

Gue langsung memalingkan wajah, memfokuskan tatapan pada Pandu. Gue mencibir pelan, "penting banget buat gue tau emangnya?"

"Siapa tau aja."

"Nggak penting buat gue tau," jawab gue lugas. Namun nyatanya, itu adalah kalimat yang meluncur dari bibir gue, sedangkan hati gue menginginkan sebaliknya. Ya, gue perlu tahu siapa. Entah kenapa gue harus tahu itu.

"Yakin?" Pandu masih berusaha.

"Mau itu pacar atau gebetan lo. Gue nggak peduli sama sekali, ya?! Siapapun perempuan itu, bukan urusan gue!" Gue berteriak kasar. Napas gue tiba-tiba memburu kencang.

"Kok marah?" Pandu terkekeh pelan. "Kamu cemburu Ayana?"

"Gue nggak bilang gitu!" Tentu saja gue langsung protes, bisa-bisanya om-om ini menyimpulkan sendiri kayak gitu. Nggak salah dong kalo gue semakin meradang di tempat.

"Tapi kok respons kamu begitu? Sensitif ya kalo saya bahas perempuan lain?"

Gue tertawa hambar. "Nggak ada sejarahnya gue cemburu sama lo. Nggak bakal terjadi hal kayak gitu. Ngerti?"

"Nggak pa-pa, cemburu tanda sayang kok."

Gue spontan langsung memukul lengan Pandu dengan brutal. Kekesalan susah menguasai tubuh gue. "udah gue bilangin kalo gue nggak cemburu! Bisa diem nggak sih?! Dasar nyebelin!" Gue masih memukul Pandu, membabi buta.

"Ayana stop! Berhenti mukulin saya! Ini saya lagi bawa mobil, nanti nabrak orang."

"Siapa suruh rese banget dari tadi."

Akhirnya gue berhenti, bukan menuruti apa yang Pandu mau, tapi gue berhenti karena capek sendiri. Gue melipat tangan, sorot mata permusuhan tercetak jelas di bola mata gue.

"Saya nggak tahu kalo pukulan kamu cukup membuat saya kesakitan kayak gini."

"Sukurin!" Gue mendelik dan menggertakkan gigi, masih menahan sebal.

"Kalo kamu nggak mau tahu siapa perempuan itu, ya udah saya nggak bakal maksa kamu. Tapi kalo kamu benar-benar nggak tahan, silakan tanya kapan aja."

Seharusnya Pandu jelasin sesuatu sama gue! Gue ngomong enggak, sebenarnya itu gue perlu jawaban. Dasar enggak peka banget jadi cowok. Ah, sudahlah ... Lagian gue juga udah males banget bahas ginian.

"Katanya bentar lagi nyampe, mana buktinya? Lama banget perasaan."

"Tuh, di depan. Beneran udah nyampe kok," jawabnya tenang. "Ayana kenapa? Girang banget kelihatanya pengin nyampe, nggak sabar pengin ketemu calon mertua, ya?"

"Sekali lagi lo usil kayak gini, gue sentil nih ginjal lo!" Setelah mobil Pandu berhenti, gue sempat melotot kepada Pandu sebelum akhirnya gue keluar karena kekesalan gue sudah berada di ubun-ubun.

Tawa Pandu masih saja terdengar meskipun tubuh gue sepenuhnya sudah keluar dari mobil. Lama-lama, gue sudah terbiasa dengerin suara Pandu tertawa seperti itu. Dan kenapa tiba-tiba jantung gue rasanya seperti habis lari maraton gini?

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang