Sewaktu Ayana tiba-tiba saja marah hingga menampar wajahku karena aku menunjukkan foto pacarnya yang lagi bermesraan dengan perempuan lain, aku sebenarnya terkejut. Rasa sakit memang menjalar di wajahku, bahkan ada bekas merah akibat tamparan kuat Ayana. Tapi aku nggak bisa marah, aku cuma diam sambil menatapnya.
Nggak salah kalau Ayana marah. Ini memang kesalahanku, aku nggak seharusnya membangkitkan amarahnya. Tujuanku sebenarnya hanya ingin memberitahunya kalau pacarnya ada main sama perempuan lain. Tapi, justru aku yang kena getahnya juga. Dan sekarang, Ayana sepertinya masih marah kepadaku tentang persoalan itu.
Hari ke lima aku dan Ayana tinggal di satu atap, justru nggak membuahkan hasil apa-apa. Bukannya semakin dekat, aku merasa kalau Ayana malah semakin menjauh, pergi, susah untuk digapai. Benar-benar nggak ada kemajuan sama sekali
Apa bener kalau aku dan Ayana sebenernya nggak cocok?
Aku segera menggeleng pelan untuk mengusir pikiran buruk itu. Aku harusnya semakin berusaha lebih keras lagi agar Ayana bisa tertarik kepadaku. Untuk saat ini hanya masalah waktu. Aku perlu waktu. Bersabar dan terus berusaha akan membuahkan hasil yang maksimal. Aku nggak boleh nyerah. Lagipula, aku sudah mulai merasakan bahwa aku benar-benar mencintai Ayana dengan tulus sepenuh hati.
"Tunggu sebentar!"
Aku yang hendak membuka pintu depan, seketika saja berhenti. Aku lantas menoleh ke belakang, lalu melihat Ayana yang sedang berjalan ke arahku. Aku menyerngitkan kening karena bingung.
"Gue terima tawaran lo itu," ucap Ayana tiba-tiba saja. Dia menatapku lurus.
Aku mengerjapkan mata. Bingung sendiri. Tawaran? Maksudnya?
"Kenapa malah diem? Nggak mungkin lo lupa kan soal tawaran lo tadi di meja makan? Gue lagi males nyetir sendiri, jadi gue mau diantar ke kampus."
Ayana kemudian langsung melenggang pergi ke luar rumah setelah selesai berkata sedemikan rupa. Aku masih mematung, lantas mengerjapkan mata. Napasku terbuang dengan berat.
Sepertinya aku tadi terlalu kepedean. Aku pikir, yang Ayana maksud tadi adalah kalau dia bersedia akan mencoba dekat denganku dan menerima aku sebagai calon imamnya. Aku tersenyum kecut.
Memang, saat sarapan bersama tadi aku menawarkan diri untuk mengantarkannya pergi ke kampusnya. Aku geleng-geleng kepala pelan, lalu menyusul Ayana keluar dari dalam rumah.
Selama perjalanan menuju kampus Ayana, kami kebanyakan sama-sama diam. Aku berulang kali melirik Ayana, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya nampak murung sedari tadi, juga penampilannya sedikit berbeda dari biasanya.
Ketika rambu lalu lintas di depan sana berwarna merah, aku pun menoleh ke arah Ayana. "Ayana, kamu lagi ada masalah?"
Dia menoleh, menatapku seperkian detik. Namun wajahnya terpaling lagi ke arah jendela, menyaksikan hiruk pikuk kota di pagi hari.
Aku menghela napas, "kalau ada masalah, kamu boleh cerita sama saya. Mungkin saya bisa bantu kamu, atau seenggaknya kamu sedikit lebih tenang setelah cerita."
Ayana masih saja diam. Aku pun nggak bisa berbuat apa-apa. Nggak mungkin aku maksa dia buat cerita. Raut wajah Ayana terlihat mendung, dia sepertinya memang ada masalah yang enggak aku tahu sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey-shit!
Teen FictionGimana gue nggak kesel coba? Ditengah sibuk-sibuknya ngurus tugas dari Dosen yang rasanya bikin kepala mau pecah, dengan kejamnya mama mau ngejodohin gue! Ya ampun, wisuda aja belum, ini malah disuruh nikah. Mama emang ada-ada aja kelakuannya. Kalo...