42. Tidak Mungkin

2K 139 2
                                    

Gue bahagia banget. Seriusan deh, jalan-jalan bareng pacar adalah sesuatu yang jadi mood booster gue. Seharian gue menghabiskan waktu bareng Adit, berkeliling ke mall, makan bareng di kafe, main ke time zone, sampai akhirnya nonton bioskop.

Ngomong-ngomong tentang bioskop, gue jadi teringat kejadian sewaktu Adit mau mencium gue. Awalnya gue mau menerima ciuman Adit, tapi entah kenapa tiba-tiba gue merasa kalau hal itu adalah perbuatan yang salah. Percaya nggak percaya, gue malah keinget Pandu yang nyium kening gue di dapur!

Ini beneran nyata, gue nggak bohong. Gue sebenernya nggak mau jujur, tapi gue juga nggak bisa membohongi perasaan gue sendiri kalau sebenarnya gue agak merasa bersalah sama Pandu.

Dan untungnya saja, Adit nggak marah saat gue menolak ciumannya. Pacar gue itu cuma natap gue dengan kerutan dikening doang, selebihnya dia kembali fokus nontin film yang lagi diputar, begitupun juga gue.

Gue emang menolak ciuman Adit, namun gue masih membiarkan dia pegang tangan gue, mengelus pundak gue, sampai bermain rambut gue. Itu nggak masalah, gue sendiri pun nggak protes. Bahkan gue juga menyenderkan kepala di bahunya Adit.

Oh ya, ada satu lagi yang aneh. Saat nonton bioskop, entah kenapa gue merasa bahwa Pandu ada di sekitar gue, nonton film bareng. Gue juga nggak tahu kenapa gue ngerasain hal itu. Dia seperti di sana, duduk nggak jauh dari gue. Tapi itu nggak mungkin, dia lagi ada di rumah.

Sampai akhirnya film selesai, dengan bahagia gue sama Adit keluar dari ruangan bioskop. Dan situlah kebahagiaan gue berakhir.

Cowok gue itu tiba-tiba ijin nggak bisa nganterin gue pulang setelah ada yang nelpon. Gue tanya siapa yang nelpon, tapi Adit nggak mau jawab. Justru jawaban yang keluar dari bibirnya adalah kalau dia ada kegiatan penting saat itu juga dan nggak bisa ditunda lagi.

Gue sebenernya kesal, masa sih gue harus pulang sendiri? Gue sempat memohon sama Adit untuk nganterin gue pulang dulu, tapi dia nggak mau karena waktunya udah mepet. Dengan pasrah, gue pun mengangguk singkat. Adit pun pergi entah ke mana, dengan langkah tergesa.

Dan sekarang, di sinilah gue sekarang, di teras depan rumah. Gue terpaksa pulang naik ojek online karena taksi nggak ada yang lewat, ada sih beberapa yang lewat di hadapan gue, tapi pasti penuh dengan penumpang.

Gue emang jarang banget naik ojek online. Walaupun bayarnya murah, tapi tetep aja gue nggak betah. Gue nggak masalah bayar mahal asalkan kenyamanan yang ditawarkan sepadan dengan harganya. Bukan cuma panas aja yang menyengat kulit, tapi rambut gue juga jadi berantakan karena tertiup angin. Dan rupanya, nggak berhenti sampai di sana aja, bahkan yang paling parah nih ya, helm yang kang ojek tawari ke gue itu baunya minta ampun banget.

"Capek banget!" Gue menghempaskan diri ke kursi yang ada di teras depan, gue duduk di sana sambil menikmati semilir angin.

Setelah gue cukup istirahat, akhirnya gue pun berjalan ke pintu. Gue menarik handel pintu. Tapi kok susah?

"Di kunci?" Gue bergumam pelan, kenapa di kunci segala sih? Gue berusaha membuka pintu lagi, tapi emang sudah banget.

Kesal, gue pun menendang pintu dihadapan gue itu. Terpaksa gue mengobrak-abrik tas gue, mencari kunci cadangan yang emang setiap gue pergi pasti bakal gue bawa.

Setelah ketemu, gue langsung membuka pintu. Pintu dikunci, apa Pandu keluar?

Gue pun berjalan ke sekeliling rumah, dari dapur, taman samping rumah, kolam renang belakang, ruang keluarga, semuanya nggak ada. Kecuali satu yang belum gue cek keberadaannya. Yaitu kamar tamu, yang ditempati Pandu saat ini. Dengan langkah pelan, gue mendekat ke arah kamar itu.

Honey-shit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang