|Vote dan comment dipersilakan sebagai bentuk apresiasi bagi seorang penulis|
©callmeRIESDi ruang rapat salah satu Universitas terjadi sedikit kericuhan, yang mendasarinya adalah perbedaan pendapat dua pihak yang sama-sama memiliki kontrol emosi buruk. Pihak pertama yang kekeh dengan pendapatnya dan pihak kedua yang juga kekeh dengan pendapatnya.
Satu orang yang duduk di ujung menatap datar kedua anggota itu. Dia adalah presiden BEM, Jennie Kim. Pulpennya diketuk-ketukkan di atas meja, masih diam mengamati keadaan.
"Bagaimana jika kalian mencari ruangan sendiri? Disana kalian bebas mengatakan apapun, berkelahi, atau tidak menghormati orang lain!"
Hoho...macan betina telah terbangun dari tidurnya. Ruang rapat yang terisi oleh lima belas pengurus -tidak termasuk Jennie- menunduk dalam. Bahkan, dua orang itu terdiam seperti patung. Kesalahan jika mencari masalah saat Jennie dalam keadaan serius.
"Sudah selesai?" Dua orang itu mengangguk kaku.
"Kalian pikir di tempat ini hanya ada pendapat milik kalian? Jika terus bersikap kekanakan, silahkan keluar."
Senyap. Tidak ada suara. Jennie mampu membungkam mulut serta pikiran semua orang. Aura seorang pemimpin benar-benar melekat padanya.
Satu menit semua diam, rapat pun dilanjutkan dengan Jennie yang memulai percakapan.
Rapat kembali tertib seperti semula. Semua pendapat dikeluarkan lalu didiskusikan. Sebagai ketua, Jennie mengkoordinir para pengurus dengan tegas dan bijak. Dia mencari solusi dari perbedaan, mencari jalan keluar saat timbul masalah, juga mengeluarkan ide-ide baru untuk membuat terobosan.
Semua berjalan lancar hingga rapat selesai.
"Terimakasih Presiden."
Jennie tersenyum. Ekspresinya kembali normal. Saat keluar dari ruang rapat sesekali dia ikut serta dalam candaan teman-temannya. Inilah Jennie Kim, seperti memiliki dua kepribadian ketika gadis itu serius dan ketika dirinya santai.
Q u e e n
Jennie sedang berjalan pulang ke rumahnya. Berhubung tempat dia berkuliah dekat dengan rumahnya, dirinya memilih jalan kaki. Hari sudah malam, tadi setelah rapat Jennie melanjutkan kelas sorenya, karena dia mengambil dua jurusan perkuliahan.
Bukan tanpa alasan gadis itu masuk ke dua jurusan -kedokteran dan sastra inggris- dia melakukannya karena tuntutan dan keinginan. Keluarganya menuntut Jennie menjadi seorang dokter untuk meneruskan rumah sakit keluarga, tetapi diselingi minat dan keinginan Jennie menjadi ahli bahasa Inggris karena gadis itu sangat menyukai bahasa Inggris.
Jennie cukup berbangga diri karena biaya kuliahnya di jurusan sastra Inggris dia bayar sendiri dengan hasil kerjanya sebagai penerjemah resmi.
"Lelahnya..."
Ditemani bulan sabit yang bersinar terang, Jennie sama sekali tidak takut melanjutkan langkah meskipun sekarang jalan yang dia lewati cukup sepi. Dia sudah terbiasa.
"Berikan uang pada kami!"
Jennie berhenti seraya menajamkan pendengarannya.
"Nenek tidak punya uang."
BRAKK!!
Jennie segera berlari ke arah sumber suara. Benar saja dugaannya, sekelompok preman sedang memalak seorang nenek-nenek yang terlihat tidak berdaya. Jennie geram sendiri melihatnya.
Saat tangan salah satu preman akan memukul nenek itu sebuah tendangan berhasil mendarat di perutnya.
Melihat rekannya jatuh, dua preman lain tidak terima dan mencoba membalas. Dengan santai Jennie melawan.
BRUKK!!
"Pergi atau saya lapor polisi?!"
Tiga preman yang cukup mendapat luka segera kabur setelah mendengar perkataan Jennie. Gadis itu pun menghela nafas lega. Segera dia menoleh ke belakang, ke tempat nenek yang diselamatkannya.
"Nenek baik-baik saja?" Tanya Jennie panik.
"Iya, anak muda."
Jennie tersenyum setelahnya, "Nenek mau kemana malam-malam begini? Biar saya antar."
Nenek di depannya menggelengkan kepala, "Kalau kau ingin membantu nenek, tolong terima cincin ini."
Belum Jennie menjawab, nenek itu segera memasangkan cincin ruby yang di berinya ke jari manis Jennie. Saat Jennie akan mengatakan sesuatu, nenek baik itu segera berjalan meninggalkannya.
Bersamaan dengan langkah sang nenek, cahaya bulan menyorot pemilik baru cincin itu. Tidak sempat Jennie mengejar, pandangannya telah buram yang kemudian tak sadarkan diri.
Q u e e n
Sapuan halus di puncak kepala mengiringi seorang gadis yang perlahan tersadar dari pingsan. Ketika dia mencoba duduk tegak sebuah tangan kekar yang memeluk pinggangnya menghalangi usahanya itu. Jennie pun menoleh cepat.
Laki-laki berambut panjang dengan aksesoris kepala mirip zaman terdahulu menatapnya lekat, tidak memberikannya celah sedikitpun untuk menoleh ke arah lain.
"Bagaimana keadaanmu?"
Jennie tertarik kembali ke dunianya. Segera dia menjauhkan tubuhnya dari laki-laki itu secara paksa. Menatap waspada, ekspresinya sedikit panik sekarang. Sedangkan laki-laki di depannya mengangkat sebelah alisnya bingung.
Jennie menyapukan pandangan ke sekeliling. Dimana ini? Bukankah terakhir kali dia di perjalanan menuju rumahnya? Dimana nenek yang dia selamatkan?
TAK!!
Jennie menepis kasar tangan yang tiba-tiba menyentuhnya. Sekali lagi laki-laki itu dibuat bingung dengan sikap Jennie.
"Kau kenapa?"
Bukannya menjawab Jennie segera pergi dari tempatnya berdiri. Kakinya tak bisa dia bawa berlari cepat karena terhalang pakaian panjang seperti hanbok. Tunggu! Hanbok? Oh, tidak ada waktu untuk bingung. Jennie harus mencari tahu dimana dirinya berada sekarang.
••••
1119Bertemu kembali :)
Gimana-gimana? Ada pendapat?
Don't copy my story!
Semoga suka, terimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen (SUDAH TERBIT)
Fanfiction[Only on Wattpad! Dan sudah dibukukan.] Berbekal otak jenius dan kemampuan bela diri, empat gadis cantik yang tidak saling kenal dipertemukan di 'masa' yang berbeda. Menyeberangi dimensi ke abad-16, tempat di mana orang terhebatlah yang paling dihor...