Sam menatap papa dan mamanya dengan bingung, bagaimana bisa mereka tidak memberitahukan soal ini?
"Maksudnya apa, Ma, Pa? Kenapa baru bilang sama Sam? Mama sama papa bahkan tau Sam dari kecil paling gak suka kalau dipaksa dan sekarang papa sama mama ngelakuin itu. Sam gak mau jadi anak durhaka, tapi ini susah, Ma. Kalau mama bilang dari kelas 10 dulu Sam bakalan nyiapin diri. Lah ini? Mama bahkan baru ngasih tau dua minggu sebelum keberangkatan Sam."
"Sam, mama takut kalau ngomong sama kamu, mama takut kalau kamu gak bakalan setuju."
Sam memijat pelipisnya. "Bahkan untuk saat ini Sam tambah gak setuju. Mama sama papa ngambil keputusan seolah Sam ini gak ada."
"Sam gak gitu, sayang. Papa sama mama gak bermaksud kayak gitu, ini untuk kepentingan kamu, untuk nanti Sam."
"Papa tau gak kalau kayak gini Sam rasanya kayak gak dianggap, Pa. Sam ada tapi kalian membuat keputusan sendiri, Sam gak suka kayak gini. Apalagi keputusan yang kayak gini."
Papanya menghela nafas kasar, mungkin ini salahnya karena tidak memberitahukan putranya terlebih dahulu. "Papa minta maaf, kalau Sam ngerasa gitu. Sorry, papa gak berniat sama sekali untuk hak nganggap Sam."
"Kenapa papa gak bilang dulu sih? Sam pergi, bakalan Sam pikirin dulu. Mama sama papa harus nerima apapun keputusan yang bakalan Sam ambil nanti!"
Setelah mengatakan itu Sam keluar dari ruangan sang papa dengan membawa sebuah kertas itu.
***
"Sam, kenapa?" Bukannya menjawab Sam malah menyandarkan tubuhnya ke sofa kamar Dyba itu.
Dyba bingung, entah mengapa wajah Sam menunjukkan bahwa pemuda ini sedang tidak baik-baik saja. Sedari tadi bahkan Dyba sudah bertanya dan Sam malah tidak menjawab, hanya mondar-mandir di kamar Dyba dan mendesah kesal.
"Sam, kenapa sih? Jangan buat aku bingung sendiri deh!" Dyba kesal lama-lama dengan perlakuan cowoknya ini.
Tiba-tiba sebuah kertas yang dikeluarkan Sam dari saku jaketnya itu disodorkan kepada Dyba. Dyba mengambilnya dan langsung membacanya.
Dyba mengerjap pelan. "Harvard? Tiket pesawat?"
"Kamu pasti tau maksudnya apa, Dy." Dyba duduk di samping Sam. Ia menatap lelaki itu dari samping.
"Maksud kamu bakalan kuliah di sana?" Dengan lemas Sam mengangguk.
"Kenapa gak pernah bilang? Gak mungkin ngerencanain ini gak dari jauh-jauh hari, Sam!"
Sam menatap Dyba dari samping. Menemukan raut sedih dari gadis itu membuat hati Sam tercuil. "Ini yang mau papa omongin waktu manggil aku tadi. Papa udah daftarin aku dan gak minta persetujuan sama sekali sama aku."
"Terus gimana?"
"Aku masih bingung, Dy. Di Indo padahal masih banyak universitas bagus, tapi papa mutusin untuk kesana. Aku juga gak mau ninggalin kamu, gak mung-"
"Gak usah pikirin aku, aku gak papa. Masa depan kamu lebih penting. Kalau kamu nolak papa sama mama kamu bakalan kecewa. Mereka mau yang terbaik untuk kamu, apalagi kamu salah satu penerus mereka, kamu bakalan nerusin perusahaan kan?" Sam dengan lemah mengangguk.
Dyba mengelus rambut Sam dari samping. "Aku gak papa, kejar masa depan kamu."
Sam menegakkan punggungnya dan menatap Dyba tajam. "Tapi, kamu juga masa depan aku!"
"Sam, kalau memang aku masa depan kamu berarti kamu harus kejar apa yang diminta papa mama kamu dulu. Aku di sini nunggu, nunggu kamu untuk meminang aku di depan bunda sama ayah aku." Sam terhenyak, ia menatap Dyba lembut.
"Oke, demi kamu, masa depan aku." Dyba tersenyum senang. Pipinya memanas mendengar itu, ia memeluk tubuh Sam.
"Aku gak bakalan berpaling, Dy. Aku janji aku ke sini disaat aku benar-benar udah sukses dan bakalan langsung jadiin kamu ibu dari anak-anakku nanti."
"Gak usah janji, aku gak butuh janji kamu yang aku butuhin cuma bukti dari omongan kamu itu."
***
Sam mengarahkan motornya ke salah satu apartemen elit di kota ini. Setalah memarkirkan motornya ia memasuki lobby apartemen dan langsung disambut tatapan kagum dari orang-orang yang ada disana. Tanpa peduli dengan itu semua Sam berjalan ke arah lift dan memencet angka 25.
Pintu kamar apartemen itu sudah di depan mata bahkan Sam sudah membunyikan bel nya hampir 10 kali tetapi pemiliknya belum juga membukakan pintu.
"Bang! Woi!" Pintu kamarnya pun sudah digedor dan belum juga menunjukkan sang pemilik.
"Astagfirullah, abang gue tidur atau mati sih?"
Tidak lama pintu itu terbuka menampilkan wajah bantal seorang lelaki, dengan keadaan shirtless dan boxer kuning yang membuat Sam menggelengkan kepalanya melihat pakaian abangnya ini.
"Ngapain sih lo? Gue capek tau! Semalam baru lembur!" Tanpa memperdulikan ocehan itu Sam masuk dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa.
Agam yang merasa ada yang tidak beres dengan adiknya ini langsung duduk di samping Sam. "Wajah lo kusut amat, kenapa? Berantem sama Dy?"
"Mama papa daftarin gue di Harvard." Agam mengerjap, belum mengerti maksud perkataan Sam.
"Terus kenapa? Bagus dong?"
"Bagus sih bagus, Bang, tapi mereka gak minta persetujuan gue. Gue pengen kayak abang, kuliah di tempat semau abang."
"Terus lo mau setelah lulus langsung diterbangin ke Aussie gitu?" Sam mengerjap, benar juga apa yang diajarkan Agam.
"Kalau lo dipilihin papa sama mama tempat kuliah berarti lo boleh milih perusahaan mana yang bakalan lo pegang. Kan gue udah megang yang di Amrik sama Jerman, berarti lo tinggal pilih mau yang dimana. Masih ada di Perancis, Jepang, Aussie, sama Korea. Dua lo pilih dan dua sisanya bakalan papa yang milihin untuk kita. Awalnya memang gue diterbangin langsung tapi setelah beberapa tahun kan lo tau gue langsung disuruh pilih."
"Tapi, Dy gimana?" Agam memutar bola matanya malas.
"Kalau memang lo jodoh sama Dy ya bakalan nikah lah. Lo mau kayak gue?" Sam langsung menggeleng. Sam tau kisah cinta Agam yang mirip seperti Sam dan Dyba tetapi akhir dari hubungan Agam dan mantannya putus karena matan Agam yang selingkuh. Bahkan itu terjadi seminggu sebelum hari pertunangan mereka.
"Pikirin masa depan lo dulu, lo sukses, cewek pada nemplok sama lo semua, Sam. Lo ke sini cuma mau ngasih tau itu aja?" Sam dengan polos mengangguk.
"Anjir lah, gue kira ada yang penting banget. Sana pulang lo gue mau tidur lagi! Capek gue tuh!"
"Gak mau, gue mau tidur di sini aja."
Agam mendengus kesal. "Terserah lo!"
***
TBC....
Warning!! Typo bertebaran...
Jangan lupa vote and comment....
Terima kasih yang udah mau baca dan votment cerita aku....17 Mei 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Samudera [Selesai]
Teen Fiction"Aku gak suka kamu senyum sama dia!" "Ya Allah, masa aku gak boleh senyum sama pak Polisi sih? Waktu itu dia natap aku, jadi ya aku senyum lah, gak mungkin juga itu pak Polisi suka sama aku." "Tapi aku gak suka, kamu cuma milik aku, milik Samudera!"...