Pagi ini Sam sudah rapi dengan kaos hitam dan celana panjang hitam, rambutnya yang acak-acakan. Sam menghela nafas panjang sebelum memencet bel pintu rumah di depannya ini. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Mata Sam langsung berbinar mendengar suara Dyba yang menjawab salamnya itu. Sam memasang senyum geli saat Dyba masih memakai piyama ungu muda bergambar kucing putih itu.
"Pagi, nyonya Zudianto." Dyba menghembuskan nafas kasar, tetapi pipinya memerah begitu saja. Ia membukakan pintu dan Sam langsung masuk begitu sja.
Sam duduk di sofa, paper bag dari berbagai brand ternama yang dibawanya sudah ia letakkan di atas meja. "Ayah, bunda, sama bang Gean kemana?"
Dyba meletakkan gelas berisi jus jeruk itu dan duduk di sofa yang bersebrangan dengan Sam. "Nggak tau, aku bangun udah pada ilang. Kata Bibi sih udah pada berangkat semua."
"Kamu semalam habis nangis?" Dyba memalingkan wajahnya dari Sam. Tiba-tiba pipinya di tangkup oleh tangan hangat Sam.
Dyba menatap Sam yang sedang berjongkok di bawahnya. Tatapan Sam mengunci tatapan Dyba. "Aku bener-bener minta maaf sama kamu, cewek itu bukan siapa-siapa aku, sayang. Namanya Caroline, temen kuliah aku. Pure temen aku, gak ada hubungan sama sekali. Foto itu kata dia kenang-kenangan terakhir karena dia bakalan pindah kuliah ke Prancis."
Sam menelungkupkan kepalanya di paha Dyba. "Dia yang minta foto pakai hp ku karena dia gak bawa hp waktu itu. Aku gak ada buka-buka galeri lagi habis itu, dan aku benar-benar lupa ada foto Oline di situ. Aku sibuk nyelesaiin tugas supaya waktu libur bisa ke Indo buat suprise untuk kamu. Tolong percaya samaku, sayang."
"Bangun, jangan di situ." Sam menggelengkan kepalanya. "Kalau kamu belum maafin aku, aku gak bakalan bangun, Dy."
"Bangun, Sam!" Sam tetap menggelengkan kepalanya. Ia malah memeluk pinggang Dyba.
"Bangun atau putus?" Sam langsung mengangkat kepalanya. Ia memandang Dyba dengan tatapan tak percaya.
"Kamu diem di sini, jangan ikutin aku." Sam menatap punggung Dyba yang mulai menjauh dari pandangannya dan berjalan ke arah kamar Dyba. Sam menundukkan kepalanya, tidak mungkin kan ia ditinggalkan begitu saja oleh Dyba? Lagi pula kemana Dyba pergi Sam akan terus mengikutinya.
Sam duduk di karpet alas sofa itu dan memandang pintu kamar Dyba yang belum juga menampilkan pemiliknya. Sam menghembuskan nafas kasar, ia menunduk. Apa ia salah? Tapi, ia sudah jujur. Oline hanyalah temen kuliah, lagi pula gak ada yang bisa ngerebut hatinya dari Dyba. Cuma Dyba yang bisa mendebarkan jantungnya sekencang ini. Ia belum-- bukan, ia tidak akan pernah berpaling dari Dyba. Dyba masa depannya.
Bau parfum khas Dyba langsung membuat Sam mendongakkan kepalanya. Di sana ia sudah melihat Dyba rapi dengan kaos hitam dan hot pants berwarna hijau army. Tidak lupa tas selempang kecil berwarna hitam dan rambut gelombang yang terurai indah.
"Ngapain duduk di situ?"
"Nungguin kamu." Dyba memutar bola matanya malas. "Bangun, ada sofa malah duduk di bawah."
Sam berdiri dan langsung berhadapan dengan Dyba. "Kamu mau kemana?"
"Apartemen kamu. Aku gak mau nyelesaiin masalah di sini."
Mata Sam berbinar. "Aku dah dimaafin?"
"Kan aku bilang, mau nyelesaiin masalah, berarti masalahnya belum kelar."
"Dy, gak ada celana lain?"
Dyba menatap ke arah celananya. "Ada, tapi aku lagi pengen pake ini. Kenapa? Gak suka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Samudera [Selesai]
Teen Fiction"Aku gak suka kamu senyum sama dia!" "Ya Allah, masa aku gak boleh senyum sama pak Polisi sih? Waktu itu dia natap aku, jadi ya aku senyum lah, gak mungkin juga itu pak Polisi suka sama aku." "Tapi aku gak suka, kamu cuma milik aku, milik Samudera!"...