37

26.7K 1.8K 104
                                    

Dyba menatap bergantian kedua orang di hadapannya ini. Ia menghembuskan nafas lega karena setidaknya tidak terjadi apapun. Ia kira akan ada sesuatu terjadi apabila kedua orang ini bertemu.

Flashback on ....

Dyba mengeratkan genggaman tangannya saat Sam membawanya masuk dan menghampiri orang itu. Dyba takut, ia takut akan terjadi sesuatu.

"Sam." Sam bukannya mendengarkan bisikan Dyba itu ia malah semakin menarik Dyba untuk menghampiri orang itu.

Dengan seenaknya Sam duduk di bangku depan orang itu dan ia menarik Dyba untuk duduk di sampingnya. Orang itu mengangkat pandangannya yang membuat tubuh Dyba bergetar. Tatapannya masih menampilkan aura permusuhan.

"Er."

Rahang Erlan mengetat, ia duduk tegak sambil menatap Sam dengan tajam. "Mau apa lo?"

"Gue minta maaf atas semua yang pernah gue lakuin. Gue tau kita dari awal kenal udah gak akur, tapi apa salahnya gue mencoba minta maaf sama lo? Sebentar lagi gue bakalan ngejar cita-cita gue, begitu juga dengan lo. Gue tau, lo juga bakalan nerusin perusahaan bokap lo. Jadi, di sini gue mau minta maaf, ayo kita akur."

Bukan hanya Erlan yang menganga, Dyba juga melakukan hal yang sama. Rasanya saat ini Dyba ingin menempelkan tangannya di dahi Sam, mengecek apakah Sam sedang demam atau tidak. Tetapi, tubuh Dyba masih bergetar karena tatapan Erlan saat menatap Sam masih menajam.

"Kesambet apa lo?" ucapan sakratis Erlan itu membuat Sam menghembuskan nafas sebal.

"Gue serius, gue gak mau kita dendam kayak gini. Gue tau lo punya dendam kusumat sama gue, dari awal kita ketemu di ring tinju. Gue gak mau itu berlanjut, senakal-nakalnya gue, gue mau hidup tenang dengan banyak teman bukan musuh."

Erlan menggelengkan kepala tidak percaya. Apakah manusia di depannya ini Alfa? Alfanya Terrell yang selama ini berkelahi dengannya. "Lo Alfa kan?"

Sam menggeleng. "Di sini gue bukan Alfa lagi, gue Samudera."

Erlan benar-benar bingung dengan situasi ini. Sam melihat kebingungan itu terkekeh, ia kemudian berkata, "Nama gue Samudera Alfa Zudianto. Di Terrell gue dipanggil Alfa, tetapi gue udah bukan ketua Terrell lagi. Gue udah ngelepas jabatan sebagai ketua Terrell tadi. Empat hari lagi gue bakalan terbang ke Amerika untuk ngelanjutin kuliah. Jadi, gue gak mau ada musuh lagi. Di sini gue sebagai Alfa maupun Samudera, gue minta maaf sama lo atas apa yang pernah gue lakuin sama lo."

Erlan mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mengerti sekarang. Apakah sudah saatnya ia berdamai dengan manusia di depannya ini? Erlan menatap ke arah Dyba, ia tau sedari tadi Dyba menatapnya dengan takut. Ia tau perasaan cewek itu, ia mengaku salah dulu melibatkan cewek itu untuk balas dendam kepada Sam.

Erlan menghela nafas perlahan. Ia menatap Sam, tatapannya bersahabat tidak tajam seperti tadi. "Gue ngakuin, di sini gue juga salah. Gue iri sama lo, Al, lo bisa dapat segalanya, sedangkan gue? Jadi ketua Navarro aja gue harus susah payah untuk bujuk mereka dan ngasih mereka duit supaya gue jadi ketua mereka. Lo bisa jadi anak kesayangan om dulu, sedangkan gue? Mau ikut kelompok kalian aja gue gak pernah diterima sama Om. Dari situ gue bener-bener benci sama lo, kenapa lo bisa segalanya sedangkan gue enggak?"

Erlan beralih menatap Dyba. "Gue juga minta maaf sama lo, gue pernah jadiin lo sebagai pancingan. Gue bener-bener gak tau apa yang harus gue lakuin dulu untuk mancing Alfa."

Erlan meminum jus mangganya, tenggorokannya terasa kering. "Gue minta maaf sama lo, Al, gue pernah ngelakuin segala macam cara untuk buat lo hancur, buat lo jatuh. Pikiran gue dulu cuma pengen lo gak jadi siapa-siapa, lo itu cuma manusia biasa yang gak bisa dibanggain sama siapa-siapa. Gue minta maaf sekali lagi, gue tau gue banyak licik dan main curang. Gue juga udah ngelepas jabatan gue dua hari yang lalu. Gue pengen minta maaf sama lo, tapi gue terlalu gengsi untuk ngomong itu. Gue ngerasa gue banyak salah sama lo."

Erlan melengkungkan senyumnya, senyum yang tidak pernah ia keluarkan di hadapan Sam. "Jadi, kita damai?"

Sam mengangguk. Ia menjabat tangan Erlan ala lelaki. Kedua tangan itu bertemu, bukan untuk saling tonjok-tonjokan lagi, tetapi sekarang untuk saling memaafkan. Kedua tangan itu bertemu, bukan dengan kepalan, tetapi dengan persahabatan. Kedua tangan itu bertemu, untuk menghapus kenangan lama dan membuka lembaran baru.

Flashback off ....

"Mau makan dulu?" Erlan aslinya masih kikuk untuk berbincang santai seperti ini dengan kedua orang di depannya ini.

Sam menggeleng. "Gak usah, tadi gue udah belanja bahan masakan sama Dy. Mau makan di rumah aja."

Erlan mengangguk. Sejujurnya ia masih tidak percaya ia bisa berdamai dengan musuh bebuyutannya ini. Erlan menatap Sam yang sudah berdiri dari tempat duduknya, tangannya tidak pernah terlepas dari tangan Dyba. "Gue pergi dulu. Kita lupain aja masalah kita dulu. Kalau lo butuh apa-apa jangan sungkan kalau misalnya butuh bantuan dari gue. Begitu juga gue, gue bakalan minta bantuan lo. Gak papa, kan?"

Erlan mengangguk. Ia juga ingin memiliki kehidupan damai. Erlan ikut berdiri. Ia menepuk bahu Sam sambil tersenyum. "Kita teman?"

Sam terkekeh. "Kalau mau lebih dari teman boleh."

Dyba dan Erlan membulatkan matanya. Erlan menonjok pelan bahu Sam. "Gue masih waras, anjir! Gak mungkin gue mau jadi pacar lo!"

Sam tertawa. "Maksud gue bukan pacar, kampret! Kalau misalnya kita jadi sahabat, saling berbagi kisah juga gak papa. Gitu, aelah lo mah pikirannya."

Erlan menggaruk tengkuknya. Ia sudah berpikiran yang macam-macam kepada Sam. "Kita balik dulu, Er." Erlan mengangguk. Ia memperhatikan kedua punggung manusia yang semakin mengecil dari pandangannya itu.

"Gue beneran temenan sama seorang Alfa?"

***

Sam tersenyum melihat punggung Dyba yang bergerak ke sana ke mari. Ia membayangkan setiap hari ia akan melihat punggung itu di dapur. Setiap pagi bangunin dia untuk berangkat kerja.

Dyba yang sudah berada di depan Sam mengerutkan keningnya bingung. Kenapa Sam senyum-senyum sendiri?

Dyba menepuk lengan Sam lumayan keras membuat Sam membulatkan matanya. Ia menatap Dyba dengan mata memicing. "Kenapa kamu pukul aku kayak gitu, beb?"

"Kamu kayak orang kesambet, senyum-senyum sendiri, mana tatapan kosong lagi."

Sam memajukan bibir bawahnya. Ia berdecak, "Aku tuh lagi bayangin kalau kamu tiap hari kayak gini. Waktu kamu udah jadi nyonya Zudianto."

Pipi Dyba memanas. Untuk menutupi itu ia membalikkan badannya dan berpura-pura untuk mengambil susu di kulkas. Sam yang sudah melihat rona pipi Dyba terkekeh. Ia menghampiri Dyba dan memeluk Dyba dari belakang.

"Jangan malu-malu gitu lah, Ma."

***

Tbc...
Warning! Typo bertebaran...
Jangan lupa vote and comment...
Makasih yang udah mau baca, vote, and comment ceritaku...

21 Mei 2020

Possessive Samudera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang