Chapter # 17

1.1K 199 80
                                    




“Hagridden”
🖼









Waktu berjalan begitu lambat, sangat lambat. Walaupun sang bagaskara sudah menampakkan wujudnya dengan megah di garis khatulistiwa, tetap saja dalam ruangan berukuran 50m² ⁽¹⁾ dengan dinding berwarna pucat ini terasa sangat kelam.


Tidak ada suara yang terdengar kecuali suara teratur dari patient monitor dan sesekali terdengar suara hembusan nafas panjang yang melepaskan segala keresahan.


Keresahan dari lubuk hati seorang pria bermarga Lee yang tengah menatap sendu pada sang kekasih hati, yang sedang ia temani dalam tidur lelapnya.


Kepalanya terasa sangat berat; bukan, dia bukan sedang dilanda kantuk yang hebat, tetapi ia tengah mencoba memutar otak, mencari jawaban atas apa yang sedang terjadi pada dunianya yang kini kembali menggelap.


Lelah mencari jawaban, ia menghela nafas panjang; lebih berat kali ini, seraya menggenggam hangat jemari kesayangannya dengan erat dan hati-hati.


“Deary...” bisiknya lirih, hampir tidak terdengar.


Ia tahu, kalau panggilannya tidak mungkin akan berbalas jawab. Tetapi ia tetap mengulang panggilan kesayangan itu hingga akhirnya ia menyerah karena terhimpit rasa pahit di dalam dadanya.


Kini, ia kembali terdiam, memandangi sosok seorang pria pujaan hatinya dengan penuh harap.


Tatapannya berjalan dari kedua manik kelincinya yang biasanya bersinar penuh kilauan cinta, kini tertutup rapat. Lalu turun menuju pipinya yang pucat seperti wajah boneka porcelain yang dingin. Dan terus turun hingga berakhir pada balutan perban yang tergulung rapi di tangan kirinya.


Lagi, ia menghela nafasnya yang sempat tercekat di tenggorokan.


“Deary...” Jeno mengangkat genggaman tangannya, membawa jemari lemah itu ke bibir dan mengecupnya penuh kelembutan. “I'm sorry ....”


Jeno tertunduk, tetap menggenggam tangan Jaemin dengan erat dan menempelkannya di keningnya. “Maafkan aku yang selalu saja terlambat datang. Maafkan aku, Deary ....”









🖼









Beberapa saat kemudian,


Jeno terjaga dari tidur ringannya saat indera pendengarannya menangkap suara pintu yang terbuka.


Ia berusaha membuka kedua matanya yang masih melekat erat demi melihat—mempertegas—siapa yang datang menjenguk. Dan setelah ia sukses membuka kedua manik rubahnya itu, sosok Haechan yang muncul di pantulan iris gelapnya.

CHASING MEMORIES || NOMIN || MEMORIES SAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang