The Last of All

1.1K 131 197
                                    




“This Is It”
🖼
(Because WE love you, guys. So, why not?)









Sang bagaskara sudah hadir untuk menggantikan bintang fajar dengan sinaran megahnya; cahaya oranye kemerahan yang perlahan merembes ke cakrawala. Cahaya yang kuat, yang seolah membanjiri lanskap dan menerangi setiap helai rumput serta dedaunan yang masih berselimutkan embun.


Kicauan burung gelatik turut memeriahkan suasana, menyambut pagi dengan kesibukan mencari makan. Beberapa ekor lebah dan kupu-kupu juga tidak mau ketinggalan. Mereka sudah bangun lebih pagi demi menimba nektar dari inti sari bunga; cosmos dan gladiolus yang mekar dengan jelita.


Pagi yang sempurna untuk mengawali hari pertama di kalender musim panas.


Sementara di luar, dunia sudah ramai dengan kegiatan alam, di sini, di dalam sepetak kamar di kediaman Lee, seorang pemuda tampak masih terbuai oleh lullaby mimpinya. Sepertinya medan magnet bumi kali ini bekerja lebih ekstra dalam perihal membuat dirinya sulit untuk terjaga.


“Hey, wake up...”


Manik rubah pemuda itu bergerak gelisah di balik kelopak mata yang tertutup rapat. Telinga mendengar, tetapi bibir malas untuk berbalas kata.


“Kita akan terlambat jika kau terus seperti ini!”


Geraman kecil terdengar, diikuti oleh geliatan kecil dari si manik rubah.


“Ku hitung sampai sepuluh, jika tidak bangun juga, aku akan—”


“Oppa hari ini libur sekolah, Appa...”


Sudut bibir berkedut, tangan terulur untuk menepuk gemas bahu si manik rubah yang mengingau tidak jelas.


“Rggh! Oppa masih mengantuk, Appa...”


Mworago?? Ayo buka dulu matanya!”


Sepasang manik rubah akhirnya terbuka—terpaksa—seraya mengerjap cepat ketika bertemu dengan bias cahaya surya yang terpapar sombong dari jendela.


“Ugh! Setengah jam lagi, Bae...”


“Lee Jisung! Ini sudah siang! Kita bisa terlambat! Yang lain sudah bangun dan bersiap!”


Menulikan telinga, Jisung kembali menarik duvet dan menyembunyikan diri di baliknya dengan baik.


“Jangan berisik, Bae...” gumamnya, teredam dalam lipatan selimut.


Geurae...”


Suara langkah yang menjauh terdengar, sudut bibir Jisung tertarik ke atas; tersenyum puas dan penuh kemenangan.


Namun, pesta kemenangannya tidak berlangsung lama.


“OPPA!! IREONA!!”


Pekikan heboh menggelegar setelah derap langkah kembali terdengar.


Satu tarikan bar-bar berhasil menyibak duvet dan mempertontonkan Jisung yang sedang meringkuk seperti anak kucing.


“I-REO-NAAAAAAAAA!!!”


“ARASEO! ARASEO!!” Jisung bangkit duduk, menggeram kesal sembari mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu maniknya mendelik penuh hujatan. “Neo, illuwabwa!”


Shireo! Wle—”


Sepeninggal sang pengusir lelapnya, Jisung beralih pada sosok lain yang sedari tadi terdiam, lelah membangunkannya dan memilih menjadi penonton keributannya dengan sang adik di dekat jendela kamar.


CHASING MEMORIES || NOMIN || MEMORIES SAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang