69. kerja kelompok

662 61 6
                                    


Amel mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang memasuki pekarangan rumah megahnya. Seluruh bodyguard yang menunggu didepan gerbang utama terlihat menunduk memberikan hormat kepada nyonya mudanya.

Amel menghentikan mobilnya pas didepan pintu utama rumah dirgantara. Ia membuka pintu mobilnya lalu turun. Ia berjalan santai memasuki rumah megah itu.

"Selamat ya sayang! Mama bahagia banget. Pas tau kamu terpilih untuk mewakili lomba olimpiade kimia disekolah kamu".

Keila tersenyum.

"Kalau kamu bisa menang papa bakal beliin kamu apa aja yang kamu mau". Kata dirgantara lembut.

"Gak usah pa! Keila gak minta apa apa kok". Keila menolak dengan sopan penawaran dirgantara.

"Harus mau gak boleh gak! Kamu mau apa. Papa beliin mobil baru ya".

Keila menggeleng. "Gak usah pa! Kalau mobil terlalu berlebihan".

Dirgantara tersenyum. Ia mengusap lembut rambut panjang sebahu keila penuh kasih sayang. "Itu gak berlebihan kok sayang! Cuman mobil doang".

"Iya mas betul apa kata keila! Kamu jangan terlalu berlebihan. Lagian keila juga belum tentu menang kok". Celetuk Karin.

"Ih mama". Pekik keila kesal.

Dirgantara tertawa. Begitu juga Karin.

"Enggak! Enggak mama becanda kok. Mama doain mudahan anak mama menang aminnn". Karin mengusap memeluk tubuh keila dalam dekapannya.

"Aminn! Makasih mama keila sayang". Jawab keila manja. Ia menyempatkan diri untuk mencium sekilas pipi kanan mamanya.

"Papa gak diajak ni". Kode dirgantara. Wajahnya ia buat sekesal mungkin.

"Emm! Papa". Keila menarik dirgantara agar mendekat dengannya dan mamanya. Dirgantara juga ikut berpelukan. Jadilah mereka bertiga seperti keluarga kecil bahagia.

Dibalik tembok besar berwarna putih. Ada tubuh seseorang yang berdiri dengan kaku disana. Amel hanya bisa tersenyum getir saat melihat semua interaksi antara keila, Karin dan papanya. Semua terlihat natural dan sempurna tidak ada yang terlihat dibuat buat mereka benar benar menjadi keluarga utuh. Mungkin ini namanya definisi sakit tapi tak berdarah. Amel merasakan sesak yang luar biasa didadanya. Mulutnya hanya bisa bungkam seolah hilang tanpa suara. Tidak ada lagi Amel yang berwatak iblis. Semuanya seolah lenyap digantikan dengan Amel yang kembali menjadi manusia lemah.

Air mata turun dengan bebasnya. Satu tetes, dua tetes, lalu seterusnya Amel benar benar tidak mampu menahan Isak tangisnya lagi.

Hancur!

Semuanya benar benar hancur. Ia hidup seperti tidak pernah ada. Disaat semua orang tertawa hanya ia yang menangis. Disaat semua orang bangkit hanya ia yang terpuruk dan disaat semua orang bahagia hanya ia yang sengsara. Apakah salah kalau  orang seperti Amel juga ingin bahagia. Apa salah kalau ia juga ingin merasakan kehangatan keluarga. Pertanyaan itu terus saja berputar dikepala Amel terus menerus seolah sekarang semesta telah menghukumnya.

Amel bersandar di tembok itu. Ia memejamkan matanya kuat kuat walau air mata terus menerus turun menyusuri pipinya. Kedua bibirnya ia katupkan rapat rapat agar suara isakan tangisnya tidak terdengar oleh siapapun.

Beberapa kali hembusan nafas terdengar frustasi. Amel mencoba tetap tegar ia menghapus air matanya dengan kasar.

"Lo gak boleh nangis! Gak boleh". Amel terus saja berucap guna menenangkan dirinya sendiri. "Papa itu milik gue! Karin sama keila itu cuman sementara. Mereka bakal pergi! Mereka gak bakal selamanya dirumah ini. Anggap aja mereka gak ada".

Loving Cold GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang