36. MENUNGGU GENOA

635 103 544
                                    

Dira merapikan bukunya ketika bel sudah berbunyi. Namun ketika ia melihat ke samping Lika sudah siap saja. Ia menautkan kedua alisnya bingung, tumben sekali Lika terlihat seperti buru-buru untuk keluar dari kelas.

"Lo lagi gak sedih ya?" tanya Dira langsung. Biasanya yang terlihat malas untuk pulang adalah Lika. Biasanya cewek itu akan berdiam di dalam kelas dahulu sampai kelas kosong baru cewek itu pulang. "Tumben mau pulang cepet."

Lika mengangguk singkat. "Iya, Dir, gue mau balik duluan."

"Hati-hati," seru Dira melambaikan tangannya ketika Lika sudah berjalan lebih dulu keluar kelas. Dira seperti biasa yang ia lakukan setelah Genoa amnesia, ia memutuskan untuk ke kelas cowok itu.

Walau tadi ia tidak bisa tak menyadari jika Jiwa memperhatikan dirinya tanpa henti. Kalau saja dengan mudah berpindah kelas, Dira ingin pindah ke kelas Genoa saja, dan mereka tidak perlu kesulitan untuk bertemu.

Dira sudah jalan menuju ke kelas Genoa. Cowok itu pasti menunggunya di sana. Sesekali Dira melihat ke arah lapangan melihat murid SMA May yang sedang melaksanakan ekstrakurikuler mereka. Tak lama, Dira sudah sampai di kelas Genoa.

"Lho, Genoa kemana?" tanya Dira melihat kursi cowok itu kosong. Ia langsung saja bertanya kepada teman sekelasnya dan mereka hanya mengatakan kalau Genoa sudah keluar sejak tadi.

Dira memutuskan untuk keluar dari kelas Genoa. Menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan jika cowok itu tidak lagi lupa denah sekolah. Harusnya Genoa sudah mengingatnya, atau setidaknya cowok itu tahu jalan keluar.

Dira menghela napas. "Kamu kok bisa lupa lagi sih, Gen?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ia berjalan ke setiap tempat yang biasanya cowok itu kunjungi.

Di ruang musik, Genoa tidak ada.

Perpustakaan apalagi.

Hingga di pintu belakang sekolah pun Dira sudah ke sana.

Toilet yang biasanya ramai pun, Genoa juga tidak ada.

Dira kembali lagi menuju lapangan untuk melihat apakah Genoa ada di sana. Tetapi cowok itu juga tidak ada.

Balik lagi ke kelas Genoa, percuma saja cowok itu kan sudah keluar dari kelas.

Dira berjalan menuju lobi siapa tahu Genoa menunggunya. Namun, di sana sama sekali tidak ada cowok itu.

"Kamu kemana Genoa?" tanya Dira lagi.

Ia sudah mencari kemanapun tapi tidak ada. "Kamu gak mungkin ninggalin aku."

Dira merasakan angin yang begitu kencang. Langit mulai menggelap, siap menumpahkan air hujan sekarang juga.

Hingga tanpa sadar, Dira sudah menunggu Genoa setengah jam di lobi tapi cowok itu tak kunjung muncul.

Hujan deras tak henti-hentinya turun. Dira tidak bisa berkutik apa-apa. Ia tidak mungkin memaksa menerobos hujan.

Ia tidak mau membuat mamanya kembali khawatir akan keadaannya walau kulitnya sudah memerah sekarang karena angin dingin yang begitu menusuk kulitnya.

"Aku tunggu kamu di sini, Gen," ujar Dira sembari mengusap tubuhnya yang kedinginan.

Ia tidak tahu akan turun hujan dan Dira tidak memiliki jaket. Mungkin di lobi bisa lebih mudah mempertemukannya dengan Genoa.

"Kulit lo merah, Dir."

Dira mendongak ketika mendengar suara itu. "Jiwa."

Ia kembali menundukkan wajahnya dan tidak memedulikan cowok itu. Sibuk mengusap tubuhnya sendiri agar menghangat.

"Alergi dingin?" tanya Jiwa sekali lagi. Dira hanya bisa mengangguk pelan.

"Gue temenin lo di sini, ya," tambah Jiwa kini duduk di dekat Dira. Mereka memang hanya berdua di lobi, murid lain yang mengikuti ekstrakurikuler lebih memilih di kelas.

Hanya bisa menatap ke arah lain, sebisa mungkin Dira tidak menatap cowok itu. Ia mencoba untuk tidak tertarik dengan pembicaraan Jiwa.

"Dir."

"Hmm."

Jiwa dapat mendengar dehaman cewek itu saja. Padahal sejak tadi ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Dira.

"Susah ya buat bicara sama lo." Jiwa lagi-lagi membahasnya. "Karena itu gue gak jadi bilang perasaan gue buat lo."

"Gak perlu gue dengar juga."

"Karena pacar lo itu?" tanya Jiwa menaikkan sebelah alisnya. "Atau karena sahabat lo yang mantan gue?"

"Dua-duanya," jawab Dira sebisa mungkin tidak terus berlama di sini. Ia berharap hujan berhenti detik ini juga, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa.

"Alasan lo gak mau dengar perasaan gue apa?"

Begitulah Jiwa yang Dira tahu. Cowok itu seolah memberi pertanyaan yang membuat Dira tidak bisa berbohong untuk menjawabnya.

"Lo laki-laki yang buat sahabat gue nangis."

"Terus?"

"Gue gak percaya sama lo."

"Itu karena sahabat lo aja?"

"Gue juga masih punya Genoa. Pacar gue."

Jiwa berdeham, tidak pernah semenyakitkan ini ditolak seorang perempuan. "Berarti gue gak ada kesempatan sedikit aja buat bisa bilang tentang perasaan gue?"

"Gue mohon jangan bilang. Gue udah banyak masalah. Kalau lo bilang tentang perasaan lo, percuma juga, gue akan jawab nggak."

Dira seolah memukul hati Jiwa dengan benda yang sangat runcing dan tajam.

"Gue juga gak mungkin percaya sama perasaan cowok yang gampang suka sama banyak cewek."

* * *

ABSEN YANG MASIH TERUS BACAA?

SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗

LANJUT KAN?!

NEXT?

SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT

SEMOGA SUKAAA

TERIMA KASIH

FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE

Titik TerendahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang