Lika membelalakkan matanya. "Lagi? Lo aja baru pindah ke sini."
Jiwa mengangguk. "Di sini bukan tempat yang tepat untuk gue."
Mendengar itu Lika menyadari satu hal yang mencerminkan dirinya, "Kayak gue ya, bukan orang yang tepat buat lo."
"Sekarang bukan saatnya untuk membahas perasaan lo ke gue," ujar Jiwa yang selalu berhasil membuat Lika terdiam sembari menyadari jika sampai kapan pun hati Jiwa bukan untuk dirinya.
"Gue memang gak memiliki cinta untuk lo, Lik. Tapi setidaknya gue masih punya perasaan peduli ke lo, mungkin lo gak akan setenang sekarang kalau gue gak melindungi lo dari Rafeal."
"Terima kasih Jiwa." Lika pada akhirnya menyerah, "Walau kenyataannya lo memang gak mencintai gue tapi gue masih bisa hidup di dunia ini.
"Masih bisa menyadari kalau lo benar telah mencintai seorang Dira. Lo benar menaruh hati ke orang yang selalu menghadapi semuanya dengan ikhlas, gue tau itu menyakitkan buat Dira."
"Keputusan gue untuk pindah sekolah adalah hal yang tepat Lik. Selain melupakan masalah, gue juga mencoba seperti Dira, belajar untuk ikhlas dalam segala hal yang harus gue hadapi."
Jiwa menunduk berusaha menahan air matanya untuk tidak terjatuh. "Belajar dari Dira, Lik. Dia menerima apapun kenyataan dihidupnya, menerima semua masalah yang seharusnya gak terjadi pada orang sebaik Dira."
Helaan napas Jiwa melega begitu saja.
"Dira juga selalu jujur sama perasaannya. Dia terluka, dia bilang. Dia sedih, dia nangis. Bahkan dia gak cinta sama gue, dia jujur Lik. Dia hanya mencintai Genoa."
Lika mengangguk setuju, ia menangis lagi karena kembali membahas Dira mengingatkan dirinya pada sahabat terbaiknya itu.
Jiwa menarik Lika untuk menjauh dari sana agar orang lain tidak memperhatikan wajah cewek itu yang menangis. Jiwa membawanya menjauh dari keramaian, sementara Lika belum bisa menghentikan tangisannya.
"Gue jahat sama Dira, Jiwa." Air mata itu terus menggenang. "Gue jahat udah nyakitin perasaan Dira. Kalau aja gue gak melakukan itu mungkin sekarang akan baik-baik aja."
Jiwa memeluk Lika. Berusaha menenangkan perasaan Lika namun secepat mungkin Lika melepaskan pelukan Jiwa.
Lika menggelengkan kepalanya tegas menolak perlakuan dari Jiwa. "Jangan peluk gue! Gue gak mau berharap lebih dari lo lagi, Jiwa."
Jiwa terdiam dan tersenyum menanggapi itu. "Itu yang gue mau dengar dari lo. Gue gak mau lo terus berharap sama gue. Gue gak mau menyakiti lo terus, Lik."
Lika menangis lagi. "Kenapa sih Dira dengan mudahnya dapetin cinta dari lo?" tanyanya namun tidak ada jawaban sama sekali dari Jiwa. "Kenapa bukan gue?"
Tetapi Jiwa sama sekali tidak mau menanggapi Lika, ia memperhatikan ponselnya lalu menghela napas. "Gue harus buru-buru pergi."
"Jiwa." Tanpa diduga Lika yang kini malah memeluk cowok itu. "Terima kasih udah melindungi gue."
Jiwa mengangguk pelan, ia teringat satu hal pesan Dira. "Sebentar," ujarnya melepaskan pelukan itu. Ia mencari catatan yang pernah Dira tulis di ponselnya.
"Gue kirim satu catatan dari Dira, mungkin itu jadi satu keinginan terakhir Dira yang belum terwujud, dan lo mau kan bantu gue buat wujudkan keinginan Dira?"
Lika menaikkan kedua alisnya. Namun sekali lagi, tatapan Jiwa kepadanya membuat Lika tidak bisa menolak.
Lika menganggukkan kepalanya menyanggupi itu.
* * *
VOTE DAN KOMENTAR SEBANYAK MUNGKIN!
SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗
LANJUT KAN?!
NEXT?
SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT
SEMOGA SUKAAA
TERIMA KASIH
FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terendah
Teen FictionKetika Genoa memaksa Dira memasuki sebuah orbit. Dira menikmati keadaan dirinya yang terperangkap. Sementara ketika Dira merasa bahwa dirinya berada di tempat yang tepat. Genoa malah pergi sangat jauh dari orbit dan meninggalkan Dira dalam keadaan p...