68. MENEMUKAN DIRA

645 85 33
                                    

"Genoa!" Cowok itu terkejut dari arah samping kirinya dan ia benar menemukan cahaya di sana. Walaupun bajunya sudah basah kuyup, Genoa tak peduli. Genoa berlari mendekati cahaya itu.

"Dir, gak apa-apa ada gue!" Genoa memeluk Dira agar tenang. Sementara Gita dan Aurel mencoba memberi cahaya terang ke arah dua orang itu, seharusnya saat hujan seperti ini memang berhenti melakukan acara ini.

Dira menangis. "Dingin, Gen."

"Iya, Dir, gue mohon tahan dinginnya."

Mata sayu Dira mencoba memperhatikan teman satu kelompoknya. "Sori ya semuanya, gue buat repot kalian. Gue alergi dingin dan ini dingin banget."

"Keselamatan lo utama, Dir."

"Ayo, kita balik ke tenda."

Mereka berjalan menuju tenda. Dengan baju yang sangat basah, percuma saja jaket yang melekat di tubuh Dira malah menambah dingin. Dira sepertinya sudah beku, terlihat gemetar saat Genoa memegang tangannya.

Sementara Jiwa yang memegang senter paling belakang, melihat itu cuma diam. Lebih tepatnya, tidak bisa berbuat apa-apa.

Akhirnya mereka bisa sampai di tenda. Genoa masih tetap bertahan membawa Dira menuju tempat tidurnya, ia mengambil handuk di dalam tas lalu mengusapkannya ke kepala Dira, mengeringkan rambut cewek itu, dan meletakkannya di badan Dira agar tak kedinginan.

Genoa mencari obat itu, ia meminta air minum ke panitia. Kini Dira harus meminum obatnya, jika tidak Genoa tahu alergi itu sulit meredanya sebab udara di sana masih terasa dingin.

"Gen, kamu juga pakai handuk atau ganti baju sana. Dingin."

"Gue di sini aja temenin lo."

"Gen, makasih kamu mau tolong aku."

Dira menangis karena menyadari kelemahan dirinya. Ia mengerti cowok tahu tentang alerginya tapi Dira jadi rindu Genoa-nya. Rindu disaat Genoa begitu khawatir kepada dirinya, sama seperti Genoa yang sekarang.

"Gue yang harusnya jaga lo, Dir." Genoa memandangnya sedih. "Kalau bukan karena gue, lo gak akan kayak gini. Sori, Dir, gue yang kumpulin formulir lo."

"Gen?" tanya Dira bingung karena tebakannya benar kalau cowok itu memang pelakunya. Tapi ia tidak menyangka jika akhirnya Genoa memang mengaku kalau dialah orangnya.

"Gue mau lo sama gue di sini. Gue lupa, Dir, kalau lo alergi. Gue gak mikir kalau di sini dingin. Gue lupa sama keadaan lo."

"Gen," ucap Dira menghentikan ucapan cowok itu. "Aku juga gak bisa salahin kamu sepenuhnya. Aku yang memang punya alergi ini. Udah risikonya aku rasain ini. Kamu juga udah biasa kan sama keadaan aku kalau alergi?"

"Iya, Dir, iya." Genoa menganggukkan kepalanya. "Saking biasanya sampai buat gue khawatir."

"Gen," panggil Dira lagi. "Aku mau bicara sama kamu."

"Bicara apa?" tanya Genoa siap menjawab semua itu. Ia akan siap sedia untuk Dira.

"Tolong kamu jangan laporin Jiwa sama teman-temannya ke polisi ya." Dira seolah memelas kepadanya. "Aku tau alasan Jiwa lakuin itu, tapi aku juga gak tau teman Jiwa punya alasan yang sama atau nggak. Tapi jangan bawa Jiwa, Gen, dia punya alasan lakuin itu."

"Alasan apa, Dir? Kalau dari awalnya memanfaatkan buat kepentingan pribadi itu sama aja kejahatan. Semua kejahatan memang untuk diri sendiri, kan? Membahayakan orang lain untuk kepentingan diri sendiri itu gak salah? Salah banget, Dira."

"Iya, aku ... Gen, tapi aku tau kalau itu bukan kemauan Jiwa kayak gini."

"Dir," henti Genoa mencoba jelaskan. "Sejauh apa lo sama Jiwa dekat? Apa yang dia lakukan sampai lo percaya dia? Atau lo sekarang suka sama Jiwa?!"

"Gen, cinta aku buat kamu." Dira kesal. "Maksud aku, sebagai teman Jiwa. Aku gak mau kamu malah menuduh dia yang nggak-nggak. Aku tau Jiwa lakuin itu karena terpaksa."

"Dira, dia tetap salah!"

"Gen, tolong jangan lapor." Dira menatapnya dengan pandangan yang berkaca. Dira ingin menolong Jiwa. "Jiwa juga berusaha berhenti, Gen, aku tau dia lagi memperbaiki dirinya."

"Tapi Dira-"

"Gen, kasih tau teman kamu. Kalau masalah ini sebentar lagi selesai dan keluarga mereka aman. Karena bukan kayak gini caranya balas kejahatan."

Di luar tenda, hujan masih tetap jatuh ke tanah. Jiwa memandang kosong ke arah depan. Hanya kelompoknya yang sudah berada di sini karena yang lain masih menyelesaikan kegiatan mencari jejak.

Jiwa tidak bisa masuk ke dalam untuk melihat Dira. Sebab di sana Genoa masih bertahan dengan Dira. Baru saja Jiwa berkata kalau harapannya adalah Dira namun ternyata harapan Dira adalah Genoa.

Buktinya ketika Dira merasakan dingin yang amat luar biasa itu, Dira terus memanggil Genoa meminta pertolongan. Padahal Jiwa siap menggendong cewek itu sampai tenda tapi Dira menolak karena dia selalu berkata, "Gue butuh Genoa."

Jiwa tertawa miris. "Gue lebih butuh lo, Dir."

Namun, ponselnya berdering, Jiwa melihatnya ada nama Rafeal tertera di sana. Jiwa bangkit dan masuk ke dalam tenda miliknya untuk mengangkat panggilan itu walau sebenarnya sinyal yang sangat sedikit.

"Halo, ada apa Raf?"

"Lo di mana, Jiwa? Di markas gak ada."

"Gue lagi ada acara sekolah di Andong, kenapa?"

"Share lokasi tepatnya, Wa, gue nyusul ke sana."

"HAH? Maksud lo?"

* * *

ABSEN YANG MASIH TERUS BACAA?

SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗

LANJUT KAN?!

NEXT?

SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT

SEMOGA SUKAAA

TERIMA KASIH

FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE

Titik TerendahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang