Mendengar namanya disebut Dira bergegas pergi dari sana dan kumpul bersama kelompoknya. Genoa masih memegang kepalanya yang sangat sakit, ingin mengejar, dan menahan Dira untuk tidak ikut acara ini namun panitia sudah memapahnya ke tenda.
"Dira!" panggil Genoa percuma.
Dira langsung menyalakan ponselnya. "Gue pakai cahaya hape aja ya, takutnya kalau pake flash baterainya cepat habis."
"Iya, gak apa-apa Dir. Yang penting kita masing-masing masih bisa lihat jalannya, kan?" Gita menyetujui ucapan Dira. Cewek itu memang bukan berasal dari IPA, tapi IPS. Untungnya ada Aurel yang masih satu jurusan dengannya.
"Satu-satunya cowok di sini cuma Jiwa. Lo bisa paling depan?"
"Bisa," jawab Jiwa singkat. "Gue bawa senter."
"Oke, bagus. Gue juga bawa senter jadi yang bawa senter depan belakang ya," ujar Gita. Dira hanya menurut saja mendengar perintah cewek itu, sepertinya dia memiliki karakter pemimpin yang baik, dan bisa mengatasi permasalahan. "Aurel sama Dira kalian di tengah pastiin hape kalian ke arah samping karena takutnya kita salah jalan."
"Harus teliti juga cari cahaya berarti itu pos yang harus kita datengin." Aurel menambahkan kepada teman satu timnya.
Sejauh ini Dira beruntung mendapatkan kelompok yang mau bekerja sama. Ia memang tidak bisa mengatur hal apapun, di mana ia lebih baik menerima jika itu dianggap olehnya baik.
Semua kelompok sudah mulai berjalan. Tapi sayangnya diberi jarak tiap beberapa menit agar tak semua kelompok malah bertumpuk. Kini giliran kelompok Dira yang jalan lebih dulu menyelusuri gelapnya malam.
Di tenda, Genoa membaringkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Ia sekarang seorang diri dalam tenda setelah meminum obat dari dokter. Genoa menghela napasnya kesal berulang kali, sebab sakit di kepalanya suka datang tiba-tiba.
Genoa memang memaksa supaya ada keajaiban dirinya mengingat kembali masa-masa kebersamaan dengan Dira. Namun malah berujung seperti ini lalu cewek itu satu kelompok dengan Jiwa.
"Kenapa Jiwa lagi?" tanya Genoa emosi.
Kenapa harus dia yang menjadi satu-satunya orang yang terlibat dalam masalah ini. Bahkan Dira mengetahui kalau Jiwa juga pemalak. "Lo bela dia, Dir?"
Benar gila jika memikirkan hal itu. Sejauh apa yang dilakukan Jiwa sampai bisa dekat dengan Dira. Iya, Genoa tahu kalau dia bodoh berpacaran dengan Lika tapi entahlah itu juga sudah berlalu.
Namun, hujan turun begitu saja. Suaranya cukup kencang berjatuhan ke tenda. Tetapi Genoa teringat akan suatu hal, cowok itu bangkit, dan keluar dari tenda.
"GENOA!" teriak Bimo, salah satu panitia menahan cowok itu untuk tidak menerobos hujan. "Lo mau ngapain anjir? Lagi sakit juga."
"Gue mau nyari Dira."
"Eh buset, yang lain lagi mencari jejak. Hujan doang mah gak buat meninggal."
"Beda urusannya." Genoa menepis tangan Bimo dan langsung berlari tanpa memedulikan kepalanya yang pusing.
"WOY GENOA!" Bimo berteriak dan teman panitia yang lain bertanya kepadanya. "Anjir Genoa masuk ke hutan gak bawa senter."
Sementara Genoa terus berlari mengejar Dira. Bodohnya cowok itu tidak jelas arah mencari. Sampai terus masuk ke dalam Genoa tidak menyadari kalau di sana gelap sekali.
"DIRAAAAAA!" teriak Genoa sekeras mungkin. "DIRAAA! GUE BAKAL CARI LO. GUE CARI LO, DIR."
Namun belum juga ketemu, lagi dan lagi Genoa terus berlari tak jelas arah. Tak tahu ke arah mana ia harus tuju. Yang terpenting sekarang Dira ada. Lalu Genoa mencoba mencari cahaya di tengah gelap hutan pegunungan itu.
"DIRAAAAA!" Sekali lagi Genoa berteriak.
* * *
ABSEN YANG MASIH TERUS BACAA?
SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗
LANJUT KAN?!
NEXT?
SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT
SEMOGA SUKAAA
TERIMA KASIH
FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terendah
Teen FictionKetika Genoa memaksa Dira memasuki sebuah orbit. Dira menikmati keadaan dirinya yang terperangkap. Sementara ketika Dira merasa bahwa dirinya berada di tempat yang tepat. Genoa malah pergi sangat jauh dari orbit dan meninggalkan Dira dalam keadaan p...