Harusnya aku sudah paham, bahwa kamu meminta untuk mengakhiri. Hakikat dari mencintai adalah melepaskan.
Harusnya aku sudah tahu, bahwa peduliku tidak selamanya kamu lakukan untukku. Dan seharusnya aku sadar, bahwa mencintaimu tak selamanya diawali keyakinan.
* * *
LIKA kembali menangis, tidak peduli teman sekelasnya yang lain beranggapan buruk kepadanya. Ia menoleh ke samping tepat di mana Dira selalu duduk.
Ia tidak menyangka Dira pergi secepat ini, Lika bahkan baru meminta maaf pada sahabat terbaiknya. Kalau saja ia tahu akan berakhir seperti ini, ia tidak akan menyakiti hati Dira. Sebagai sahabat, Lika mengakui bahwa dirinya sangat jahat pada Dira.
Dira yang selalu menyemangatinya harus menerima kenyataan pahit atas apa yang telah Lika lakukan. Lika menyesal membuat Dira menangis.
Lika bodoh. Ia tidak mementingkan persahabatan mereka. Lika jahat telah berada di antara Genoa dan Dira.
"Dir," lirih Lika memanggil nama Dira dengan sangat amat pelan. Hingga Lika tidak merasa bahwa dirinya membuka mulut, ia yakin itu suara di dalam hatinya. "Dulu kita janji masuk ke sekolah ini bareng dan lulusnya juga bareng. Tapi kenapa sekarang lo gak tepatin janji itu, Dir? Kenapa lo malah pergi sebelum kita lulus?"
Tangisan Lika makin keras, beberapa tatapan teman sekelasnya kini mengarah kepada Lika. Tidak ada yang tahu bagaimana Lika menangis. Kalau bukan Dira, Lika yakin tidak ada yang mau mendengar keluh kesahnya.
Lika mengira semuanya akan menertawakannya karena tidak berhenti menangis. Tapi ternyata, mereka memeluk Lika sembari menangis bersama.
Mungkin mereka sama seperti Lika merasakan kehilangan teman seperjuangan mereka dalam situasi yang tidak mengenakan seperti ini.
Semuanya berubah memilukan.
Perjalanan mereka ke Andong diawali perasaan bahagia namun ternyata pulangnya mereka membawa duka yang teramat dalam.
"Lik, kita tau Dira itu sahabat lo. Tapi Lika juga teman kita semua."
"Iya, Lika. Harusnya lo jangan nangis sendirian. Kita semua sedih."
"Lik, satu-satunya cara membuat seseorang yang pergi bahagia dengan cara kita mengikhlaskan kepergiannya."
"Dira memang gak tergantikan, Lik. Gue paham baiknya Dira. Lo beruntung punya sahabat sebaik dia."
Teman sekelasnya bergantian memeluknya, memberikan kekuatan, dan Lika mengangguk menyetujui ucapan mereka.
"Dira selalu bilang sama gue, Tuhan pasti kasih beberapa pilihan dihidup kita. Disaat pilihan pertama gagal, kita bisa memilih pilihan selanjutnya.
"Tapi pas Tuhan menghadirkan Dira sebagai sahabat gue dan dia malah pergi, gue gak bisa memilih orang lain untuk jadi sahabat gue selanjutnya.
"Cuma Dira. Hanya dia sahabat terbaik gue, pilihan paling terbaik yang Tuhan kasih buat gue."
Semuanya kembali diam dengan pikiran masing-masing ketika tadi satu kelas kembali menangis setelah kepergian Dira. Namun Lika teringat satu hal bahwa sejak tadi di dalam kelas Jiwa tidak ada.
Lika bangkit ke luar kelas berniat untuk mencari Jiwa, ingin bertanya mengapa cowok itu sama sekali tidak ada di dalam kelas. Hingga mencari-cari setiap tempat di sekolahnya akhirnya ia menemukan Jiwa baru saja keluar dari ruang Tata Usaha.
"JIWA!" panggil Lika cepat. Ia bingung melihat Jiwa yang malah membawa tas padahal jam pelajaran belum selesai.
Syukurnya Jiwa berbalik ke arahnya menunggu Lika sampai di hadapannta.
"Lo mau pergi ke mana?" tanya Lika, ia sekali lagi memperhatikan Jiwa dari atas sampai bawah. "Kenapa tas lo dibawa-bawa ke sini, bukannya di kelas ya?"
"Gue pindah sekolah," jawab Jiwa singkat.
* * *
VOTE DAN KOMENTAR SEBANYAK MUNGKIN!
SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗
LANJUT KAN?!
NEXT?
SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT
SEMOGA SUKAAA
TERIMA KASIH
FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terendah
Teen FictionKetika Genoa memaksa Dira memasuki sebuah orbit. Dira menikmati keadaan dirinya yang terperangkap. Sementara ketika Dira merasa bahwa dirinya berada di tempat yang tepat. Genoa malah pergi sangat jauh dari orbit dan meninggalkan Dira dalam keadaan p...