73. ADA DI SINI

633 88 22
                                    

Setelah polisi dan ambulans datang, Jiwa baru bisa mendekati Dira. Walau suster sedang memeriksa keadaan Dira tapi sebisa mungkin Jiwa harus tahu bagaimana cewek itu.

Walau orang-orang di sekitarnya cukup ramai. Tapi ia tak peduli karena keadaan dirinya sudah kacau ketika melihat darah terus bercucuran dari tubuh Dira.

"Teman saya kenapa? Dia baik-baik aja, kan?"

Tetapi suster yang belum selesai memeriksa hanya diam dan sama sekali tidak membuka suara.

"Suster, kenapa masih di sini? Bawa teman saya ke rumah sakit. Tolong bawa suster!"

Suster menoleh ke arah Jiwa. "Mohon maaf, tapi dia sudah meninggal dunia."

Jiwa terbelalak, kini ia benar-benar menerobos untuk meraih Dira. Memeluk cewek itu dengan sekuat tenaga yang ia punya. "Lo gak mungkin pergi, kan, Dir?" tanyanya menangis. Ia menangis karena melihat keadaan Dira.

"Dir, lo bercanda. Lo bohong kan sekarang? Dir, jangan pergi!"

Tak peduli pakaiannya yang kotor terkena darah. Namun ia ingin memeluk Dira untuk terakhir kalinya. Gadis yang ia cintai, sangat-sangat Jiwa cintai.

"Dir, perasaan gue masih sama. Gue masih mencintai lo, Dir. Gue mohon lo bangun!"

* * *

Usapan lembut di kepala Genoa tak mempan ketika cowok itu kembali berkata, "Dira mana, Ma? Genoa mau ketemu Dira."

"Sebentar lagi datang. Kamu sabar ya."

"Ma," kesal Genoa. "Genoa gak sabar mau kasih tau Dira kalau Genoa udah ingat semuanya."

Hanya mendapat senyuman dari mamanya, Genoa menghela napas. Ia menyandarkan punggungnya di bantal. Genoa tersenyum seraya kembali mengingat hal yang ia lupakan. Ia bahagia mengingat itu kembali, bahagia ketika merasakan cintanya kembali.

Genoa meraih tangan Dira untuk mengikuti langkahnya. "Kamu itu udah kayak mama aku. Bawel."

"Aku kan sama mama kamu sama-sama cewek. Ya gak aneh." Dira membela diri.

"Masa aku punya dua orang yang bawel."

"Biarin. Biar kuping kamu dua-duanya denger, kanan mama kamu dan kirinya aku." Dira tertawa menggoda Genoa dengan cara seperti itu. "Lagian kita mau ke mana sih?"

"Naik sepeda." Genoa menjawab dengan sangat bahagia. "Kamu kan udah sering naik motor sama aku. Sekarang kita naik sepeda ya walaupun cuma seputar komplek."

"Sepedanya cuma satu?" tanya Dira memastikan. "Gak asik dong."

Genoa naik ke sepeda itu. "Gak ada tempat buat bonceng juga. Maaf ya, ini juga sepeda aku yang udah lama gak dipake. Ayo!"

"Terus aku harus berdiri?"

Genoa mengangguk. "Ayo, Dee."

Karena Genoa memanggilnya dengan cara seperti itu, Dira tersenyum malu. Ia naik dan berdiri di belakang sembari memegang bahu Genoa. Sangat erat hingga Genoa dapat merasakan sakit di bahunya.

"Aku gak akan buat kamu jatuh, Dir."

"Tapi aku takut kalau berdiri."

Genoa meraih tangan Dira dan menggenggamnya erat. "Aku gak akan buat kamu jatuh. Kalaupun itu terjadi, aku akan jamin yang jatuh duluan itu aku. Bukan kamu, Dir. Bukan kamu."

"Gen," panggil Dira membuat Genoa berdeham. "Jangan pernah pergi ya, Gen. Kamu janji?"

"Sebelum kamu ucapin itu, aku udah janji sama diriku sendiri, Dir. Aku gak akan pernah tinggalin kamu. Kamu juga, kan?"

"Iya, aku gak tinggalin kamu, Gen."

Seandainya waktu bisa mengerti jika Genoa tidak ingin hari itu berakhir. Pasti tidak akan pernah ia merasakan amnesia ini. Tidak terjadi jika takdir dan waktu bisa saling berargumen untuk hal ini.

Jika saja semudah itu, Genoa akan ikut dalam perbincangan bagaimana kehidupannya nanti akan terjadi.

Namun ia berterima kasih, keputusan untuk kembali terpenuhi. Ia bisa menunjukkan kepada Dira jika Genoa yang cewek itu kenal kembali. Dan tak ada lagi yang berbeda di antara mereka.

"Aku kembali, Dir. Aku ada di sini."

* * *

VOTE DAN KOMENTAR SEBANYAK MUNGKIN!

SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗

LANJUT KAN?!

NEXT?

SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT

SEMOGA SUKAAA

TERIMA KASIH

FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE

Titik TerendahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang