65. HARAPAN

630 102 18
                                    

Dia tidak terlalu mencintaimu, dia hanya ingin berbagi cerita sehingga separuh hatimu akan terluka. Dia tidak pernah menunggumu, dia ingin kamu lakukan apa yang dia butuhkan saat tidak dapat perhatian.

* * *

Hari ini dihabiskan untuk melakukan penelitian. Memang melelahkan, tapi terpaksa harus melakukannya. Dira mengambil minuman yang ada ditas kecilnya, cewek itu menjauh dari kerumunan yang menyesakkan.

"Dir."

Panggilan itu membuat Dira menoleh ke arah Jiwa. Dira tersenyum kecil lalu kembali meneguk minumannya. Jiwa jelas saja berjalan mendekat ke arah Dira masih dengan semangatnya.

"Ikut gue mau gak?" tanya Jiwa kepada cewek itu.

Dira yang bingung mengangkat alisnya. "Ke mana?"

"Tadi gue nemuin tempat bagus. Gue mau kasih tau lo."

"Gak jauh, kan?" tanya Dira cukup takut dengan tempat asing. Apalagi mereka sedang berada di alam yang entah bisa saja ada bahaya. Maka dari itu Dira mewaspadai jika terjadi apa-apa.

"Nggak." Jiwa dengan cepat meraih tangan Dira untuk mengikuti langkahnya. Cowok itu lebih dulu di depan tanpa mensejajarkan jarak mereka.

Dira tampak memperhatikan Jiwa dari arah belakang. Bukan air mata, tapi Dira seperti menangis di dalam hatinya. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang sepertinya mencintai dirinya dengan sangat amat tulus. Namun hatinya tidak bisa membalas itu.

Dira bertanya-tanya, jika sebelumnya ia tidak jatuh cinta kepada Genoa apa dirinya bisa mencintai Jiwa? Kalau iya, Dira sangat bersyukur bisa membalas perasaan Jiwa yang sudah tak ia acuhkan selama ini.

Dira tidak ingin menyakiti siapapun, kalau tubuhnya ada dua mungkin ia bisa membagi perasaan satunya untuk Jiwa. Dira tidak bisa membalas perasaan untuk dua orang sekaligus, Dira yang sekarang hanya mencintai Genoa namun Dira yang sekarang juga tidak ingin menyakiti hati Jiwa.

"Lihat, Dir!" ujar Jiwa menunjuk ke arah pemandangan yang menyajikan bagaimana permukiman di sekitar gunung dapat terlihat dari atas sana. Cowok itu tersenyum ke arah Dira. "Gue senang bisa ada di tempat ini. Bisa lupain masalah gue walaupun cuma sedikit."

Dira tersenyum sebagai jawaban, ia kembali sadar karena ucapan cowok itu. "Coba duduk di sana, Jiwa."

"Ayo!" Dengan semangat yang tak pernah habis Jiwa langsung menuntun Dira untuk jalan hati-hati.
Mereka duduk bersebelahan menatap pemandangan itu. Angin menerpa seluruh tubuh mereka berdua.

Tak ada yang bisa dijelaskan bagaimana keindahannya. Apalagi cewek yang berada di sampingnya Jiwa, lebih indah lagi bagi cowok itu memandang Dira.

"Gue gak nyangka bisa ketemu sama lo, Dir."

"Gue juga." Dira menjawabnya dengan terkekeh. "Maaf sekali lagi karena gue nabrak lo waktu itu."

"Gak apa-apa. Udah gue maafin." Jiwa menjawab hal itu. Ia memandang ke arah langit. "Lo punya suatu harapan yang lagi lo mau saat ini gak, Dir?"

Dira menoleh ke arah Jiwa, cukup terkejut dengan topik pembicaraan Jiwa kali ini selain perasaan cowok itu tentunya. "Harapan," ulangnya menghela napas. "Untuk saat ini gue mau Genoa ingat lagi dan gue bisa main alat musik."

Untuk harapan pertama, Jiwa bisa memahami maksudnya, ia tidak ingin merusak suasana kali ini karena baru saja Dira membahas Genoa saat sedang bersamanya. "Main alat musik?" tanya Jiwa bingung. "Jadi waktu itu lo lihatin ruang musik karena lo mau bisa main alat musik?"

Dira mengangguk. "Gue payah ya? Gak bisa non akademik."

"Nggak. Semua orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tapi lo udah punya keberanian buat belajar musik itu udah bagus, Dira."

Dira tertawa. "Gue belum mulai belajar, apa ya yang mudah?"

"Coba gitar aja, Dir, karena bisa nyambung ke lagu mana aja. Ya lumayan mudah belajarnya." Jiwa menyarankan itu. "Sebenarnya gue pribadi bukan orang yang suka musik. Tapi gue masih suka seni, ya melukis misalnya."

"Pro ya?" canda Dira membuat cowok itu jelas tertawa.

"Gak pro banget." Jiwa tersenyum dan menghela napasnya. "Lagu apa yang bakal lo nyanyiin kalau bisa main alat musik?"

Dira malu. "Apa ya? Udah kepikiran sih, tapi gak pede." Lagu itu menjelaskan tentang dirinya untuk Genoa.

Tentang ketakutan cowok itu untuk dirinya atau memang tentang ketakutan dirinya untuk Genoa. Mereka berdua memang saling melemparkan ketakutan yang pada akhirnya malah seperti ini.

"Tulis di-note hape gue!" Jiwa memberikan ponselnya. "Gue gak akan baca sampai lo bener-bener bisa main alat musik."

Dira mengambil ponsel cowok itu. "Jangan lihat!" tegur Dira membuat Jiwa menutup matanya seolah-olah menuruti permintaannya padahal bisa saja Jiwa mudah membacanya. Ia mengembalikan ponsel cowok itu. "Tapi janji jangan lihat kalau gue belum bisa nyanyiin lagunya."

"Janji. Kalau lo udah bisa nyanyi, baru gue lihat, kan? Terus lo nyanyi lagu itu buat gue?"

"JIWA!" Dira kesal karena cowok itu.

Jiwa terkekeh karena ekspresinya. "Oh iya, kalau harapan lo apa?" Dira berbalik tanya.

Jiwa menatap mata Dira. "Awalnya harapan gue bisa balik ke rumah dan tinggal sama orang tua. Tapi kayaknya itu susah, misalnya gue diterima lagi pasti akan ada yang terus ungkit masalah ini."

Dira masih menunggu penjelasan Jiwa yang setengah-setengah.

"Dan harapan gue sekarang itu bisa mendapatkan perasaan lo, Dira."

* * *

ABSEN YANG MASIH TERUS BACAA?

SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗

LANJUT KAN?!

NEXT?

SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT

SEMOGA SUKAAA

TERIMA KASIH

FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE

Titik TerendahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang