"Jiwaaa!"
Teriakan Dira membuat Jiwa tersadar dari lamunannya. Kini cowok itu terus mengejar Dira yang mengayuh sepedanya dengan cepat. Terlihat sekali bagaimana Dira menikmati udara dipagi hari ini.
Hingga akhirnya mereka akan sampai di depan sekolah. Selama perjalanan Dira lebih banyak mengajak Jiwa berbicara. Sementara Jiwa sendiri hilang fokus karena ia terlalu menikmati saat-saat seperti ini. Ia tidak akan melupakan sejarah bahwa Jiwa bisa berdekatan dengan Dira.
"Jiwa, lama banget sih!" omel Dira merasa dirinya lebih dulu sampai ketika cowok itu malah masih berada di belakang.
"Lo yang jalan duluan, Dir." Jiwa membela diri, namun ia masih tersenyum melihat Dira dari jarak sedekat ini. "Capek ya naik sepeda?"
Dira menggeleng pasti. "Nggak, gue semangat naik sepeda."
Jiwa mengangguk sebagai jawaban. "Kalau lo suka gue pinjam lagi deh ke teman, supaya gue sama lo bisa berangkat bareng ke sekolah lagi."
"Gak usah Jiwa, ini kan sepeda teman lo. Nanti gue coba bilang nyokap kalau gue mau coba naik sepeda kayak lo."
"Kaget ya, Dir, gue datang ke rumah lo?" tanya Jiwa membawa sepedanya ke parkiran.
Dira yang sudah lebih dulu menaruh sepeda mengangguk. "Gue gak ngerti aja lo bisa tau rumah gue."
"Usaha gak akan mengkhianati hasil. Gue berusaha buat dapetin alamat rumah lo."
Dira tertawa mendengarnya. "By the way, makasih ya."
"Sama-sama, Dir. Tapi sebenarnya yang harus bilang terima kasih itu gue. Gue yang beruntung hari ini bisa di dekat lo." Jiwa bahagia, tersenyum lagi. Hari ini ia merasa sangat bahagia.
Dira balas tersenyum menanggapi itu. Jiwa baik, tapi Dira masih tidak yakin dengan perasaannya yang entahlah. Hatinya terjebak di dalam cinta Genoa.
Cinta Dira belum bisa berubah, yang cewek itu rasakan bukan untuk menanggapi bagaimana perasaan Genoa sekarang melainkan menjaga perasaannya untuk Genoa dulu.
Dira takut jika ia membuka hatinya untuk orang lain. Takut akan kekecewaan Genoa atas perasaan yang pernah mereka janjikan dulu. Bahwa tidak ada lagi cinta orang asing yang menyelinap masuk di antara mereka.
Jiwa terus mengikuti Dira, tepatnya berjalan di samping cewek itu. Bersama-sama masuk ke kelas, Jiwa puas pagi ini bisa melihat wajah Dira lebih lama lagi.
Walau Dira tidak menjawab pernyataan cintanya, tapi setidaknya Jiwa akan terus berusaha. Sepertinya usahanya akan terbuka sedikit demi sedikit. Tidak peduli seberat apa luka tentang hidupnya yang mengerikan tapi Jiwa yakin Dira adalah seseorang yang mampu membuat ia percaya akan adanya kekuatan.
Namun, Dira melihat Lika yang berada di depan. Dira lantas mempercepat jalannya untuk masuk ke kelas juga. Lupa akan Jiwa yang terus berada di sampingnya. Cewek itu kini duduk di tempat biasa tapi matanya langsung tertuju ke arah Lika.
"Lik, gue mau tanya sama lo tapi jangan marah."
Lika balas menatap Dira dengan tatapan yang datar. Sementara Dira cukup gugup menanggapi perbincangan kala ini, ia pun tetap melanjutkan ucapannya. "Genoa masuk sekolah kan?"
Alis Lika tertaut. "Nggak, dia sakit."
"Apa? Sakit?" tanya Dira tak percaya. "Jangan-jangan Genoa gak minum obat itu. Lika, gue minta tolong sama lo, kasih tau Genoa buat minum obatnya."
"Apa sih? Bukan karena gak minum obat. Kalau gak tau gak usah ambil kesimpulan sendiri."
Jawaban Lika membuat Dira merasa bersalah. "Gue cuma khawatir."
* * *
ABSEN YANG MASIH TERUS BACAA?
SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗
LANJUT KAN?!
NEXT?
SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT
SEMOGA SUKAAA
TERIMA KASIH
FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terendah
Teen FictionKetika Genoa memaksa Dira memasuki sebuah orbit. Dira menikmati keadaan dirinya yang terperangkap. Sementara ketika Dira merasa bahwa dirinya berada di tempat yang tepat. Genoa malah pergi sangat jauh dari orbit dan meninggalkan Dira dalam keadaan p...