Selesai kejadian itu terjadi. Seluruh acara selanjutnya dibatalkan karena insiden Genoa. Kini Dira dan yang lain sedang menyiapkan barang bawaan mereka untuk pulang. Harusnya ia ikut bersama Genoa ke rumah sakit namun dirinya harus tetap di sini sebab panitia yang akan mengurusnya.
Keadaannya masih tidak tenang. Dira begitu khawatir dengan keadaan Genoa. Tidak ada lagi bahagia di wajah semua orang karena ketegangan tadi. Tidak lagi dalam keadaan baik-baik saja.
Mereka semua tampak diam selama perjalanan pulang, Dira memeluk tubuhnya sendiri dengan tangisan tak bersuara.
Jiwa yang duduk tepat di sebelah cewek itu hanya mampu terdiam. Ia menyandarkan kepalanya frustrasi, kalau bukan seperti ini kejadiannya mungkin Dira tidak akan mengeluarkan air mata itu.
"Kita bisa berdoa, Dir, demi kesembuhan Genoa. Gue yakin kalau dia baik-baik aja."
Dira menoleh. "Semuanya udah gak baik-baik aja saat Genoa amnesia. Semuanya udah gak sama lagi." Air mata itu terus berjatuhan. "Yang sama di sini hanya gue. Gue yang masih sama dari sebelum kecelakaan itu sampai sekarang."
"Termasuk ada gue?" tanya Jiwa kini balas menatap mata itu. "Apa gue juga mengubah hidup lo? Atau malah nggak?"
"Nggak." Dira membalasnya. "Lo gak mengubah hidup gue sama sekali."
"Karena lo gak cinta sama gue?" tanya Jiwa lagi.
Dira mengangguk pelan sekarang. Ia mengakui itu. "Cinta gue cuma buat Genoa. Gue gak bisa mencintai orang lain lagi termasuk lo."
"Dir, kata-kata lo membunuh gue."
"Lo harus coba buka hati buat orang lain, Jiwa!"
"Gak bisa, Dir." Jiwa menjawab. "Sekarang gue lagi jatuh cintanya sama lo. Sementara lo meminta gue untuk berhenti? Itu susah, Dir."
Tidak menjawab itu, Dira menatap lurus ke depan. "Bahkan gue selalu merasa punya banyak ketakutan. Ketakutan itu yang buat gue terlalu banyak berharap hal gak pasti."
"Masalah ini makin berat, Dir, bukan hanya perasaan gue tapi juga hidup gue. Sampai di sekolah gue harus jadi saksi," ujar Jiwa dengan alis yang benar-benar saling tertaut karena hal ini.
"Gue harus jelasin semua yang dilakukan teman-teman gue dan sekarang gue gak punya apa-apa buat bayar hutang gue ke keluarga korban.
"Cara mereka malak memang jahat, Dir, tapi mereka teman yang ada disaat gue jatuh. Gak salah gue berteman dengan mereka, yang salah memang cara mendapatkan uangnya."
"Lo siapa Jiwa?" tanya Dira tidak mengerti dengan jalan pikiran cowok itu.
"Kenapa?" Jiwa berbalik tanya.
Dira makin dalam menatap mata cowok itu. "Lo dan gue punya masalah yang dipendam sendirian."
"Lo sangat baik Jiwa dan orang lain menganggap gue seperti lo juga."
"Lo dan gue sama-sama punya sifat peduli yang tinggi."
"Lo dan gue berani jujur sama orang lain."
"Dan ... kita mempunyai cinta tulus buat seseorang."
Jiwa menolak semua itu. "Tapi sayangnya kita beda, Dir. Lo mendapatkan balasan cinta dari orang itu, sementara gue nggak. Dia gak mencintai gue sama sekali."
"Jiwa!" Dira mengingatkan. "Karena cinta itu bukan buat gue."
"Kata lo gue berani jujur. Gue lagi jujur."
Ketika mata gelap itu ditatap oleh Dira, sejak dari awal memang selalu ada kejujuran yang ia rasakan. Sampai warnanya memantulkan gambar wajahnya, Dira tidak tahu pasti apakah semuanya akan sama.
Sama dengan sekarang, ketika keduanya tidak melepas pandangan satu sama lain.
Sementara, Lika yang memperhatikan keduanya sejak tadi berbalik dan menatap lurus ke depan.
Ia memang tidak akan bisa seperti Dira.
* * *
ABSEN YANG MASIH TERUS BACAA?
SHARE JUGA NIH KE TEMAN-TEMAN KALIAN BUAT BACA CERITANYA❗❗❗
LANJUT KAN?!
NEXT?
SPAM KOMENTAR YUK SUPAYA TERUS LANJUT
SEMOGA SUKAAA
TERIMA KASIH
FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIO
@ERLITASCORPIOWP
@FIRLANAGRANDE
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terendah
Teen FictionKetika Genoa memaksa Dira memasuki sebuah orbit. Dira menikmati keadaan dirinya yang terperangkap. Sementara ketika Dira merasa bahwa dirinya berada di tempat yang tepat. Genoa malah pergi sangat jauh dari orbit dan meninggalkan Dira dalam keadaan p...