08. |P O S S E S I V E|

158 32 22
                                    

"Kita hidup untuk pandai mengatakan terimakasih dan maaf. Terimakasih telah mengantarnya, kamu cantik." —Jinan.

***
Anindnya segera berlari memanggil perawat di rumah sakit ini, karena dirinya sendiri tak akan mungkin mengangkat Chasel masuk kedalam IGD.

Para tenaga medis telah membawa Chasel masuk kedalam ruangan, Anindya masih menunggu didepan ruangan, menunggu orang tua Chasel yang telah ditelpon oleh Mairah.

Sambil menunggu dokter, Anindya memainkan ponselnya. Anindya tak begitu khawatir, untuk apa? Toh, dia juga tidak kenal Chasel. Hidup ini tidak usah terlalu mempedulikan orang lain, urus dirimu, karena yang baik kepada orang lain belum tentu benar pada diri kita, itulah pikirnya.

"Kamu temannya Chasel?" Anindya menoleh, menatap ke-sang empunya suara. Ia langsung bangkit dari kursinya.

"Iya tante," jawabnya sopan.

"Kenapa anak saya bisa pingsan?" tanyanya gelisah.

"Maaf, saya kurang tahu tante, tadi tiba-tiba saja langsung pingsan," jawab Anindya seadanya.

"Pasti dia lupa makan vitamin lagi," ujar wanita ini.

"Vitamin? Memangnya Chasel sakit apa?" Entah dorongan dari mana, Anindya tumben bertanya.

"Oh, tidak sakit apa-apa," katanya. "Nama kamu siapa? Kalau tante Jinan." Jinan menjulurkan tangannya, pada Anindya.

"Saya Anindya tante," jawab Anindya.

"Nama yang bagus, panggil bunda saja." Anindya mengerutkan keningnya beberapa saat, hingga akhirnya mengangguk.

Suara pintu terbuka menampilkan seorang dokter yang dikatakan bukan remaja lagi.

"Keluarga pria yang didalam?" tanya dokter itu yang membuat Jinan mengangguk.

"Saya mamanya," ujar Jinan.

"Boleh berbicara sebentar?" Jinan mengangguk, hendak berjalan menjauh dan membahas hal privasi pada dokter.

"Kamu tunggu disini dulu yah," ujar Jinan yang mendapat anggukan dari Anindya.

***
"Kita hidup untuk pandai mengatakan terimakasih dan maaf. Terimakasih telah mengantarnya, kamu cantik." Jinan mengusap kepala Anindya, selayaknya seorang ibu. Anindya cukup tersentuh atas perlakuan ini.

"Makasih kembali pujiannya tante," ucap Anindya.

"Bunda bukan tante," ujar Jihan memperingat.

"Sip, aku pulang dulu yah bunda." Anindya hendak mencium tangan Jihan, namun Jinan tiba-tiba menarik tangannya.

"Sebentar, yang nganterin kamu pulang siapa?" tanya Jinan.

"Oh, aku boleh naik taxi Bun-da." Anindya selalu diajarkan untuk menghargai orang tua, sesingkat-singkatnya caranya berbicara, namun tak pernah bernada ketus pada seorang orang tua.

Kalau hidup ingin dihargai, maka pandailah menghargai orang lain.

"Tidak baik anak gadis naik taxi sendirian, Bunda tak akan mengizinkanmu, wanita itu sangat berharga, tidak semua orang baik di dunia ini." Lagi dan lagi, Anindya tersentuh mendengar pejelasan ini, Jinan mirip sekali dengan Mommynya, terlalu pengertian dan menyayangi.

ANINDYA | EFEMERAL SERIES [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang