59. | H E M O D I A L I S A |

97 12 0
                                    

Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, Anindya bersama keluarga kecilnya serta Chasel dan Elizha menemani Anindya untuk melakukan cuci darah.

Mereka sudah berada diruangan hemodialisa, mereka semua meneguk salivanya, terlalu banyak mesin canggih didalam ruangan ini, dan darah yang begitu banyak.

Anindya memejamkan matanya, sebenarnya gadis ini fobia dengan darah. Anindya rasa kepalanya sangat pusing, dan ingin meninggalkan tempat ini saja.

"Tenang sayang." Tio merangkul putrinya, karena Tio tahu bahwa putri tunggalnya ini sangat anti dengan darah.

"Sudah datang yah, ayo masuk kedalam ruangan." Dokter Roy menuntun mereka untuk masuk kedalam ruangan khusus untuk Anindya, kedua orang tuanya telah memesankan ruangan khusus untuk putrinya, yang memang privat tanpa orang lain.

Anindya mulai berbaring diatas ranjang yang empuk diruangan ini, dokter Roy dan beberapa perawat lainnya mulai mengeluarkan seluruh alat-alat mereka, dan menyalakan mesinnya.

Tio dan Gisel berdiri mengapit Anindya, sementara Chasel dan Elizha mengamati bagaimana proses berlangsungnya cuci darah ini.

"Siap yah tangannya ditusuk jarun?" tanya dokter Roy yang mulai menyentik Anindya.

"Pa-pa s-sakit," rintih Anindya yang berusaha menahan rasa sakit yang menusuk tangannya, Tio sebagai seorang ayah, berusaha menenangkan Anindya dengan mengelus rambut putrinya.

Mesin ini berperan sebagai ginjal artifisial (ginjal buatan) yang dapat menyingkirkan zat-zat kotor, garam, serta air berlebih yang ada di dalam darah pengidap.

Gisel kembali menumpahkan air matanya, saat melihat putri kesayangannya berusaha menahan rasa sakit saat jarum mulai dimasukkan kedalam tubuhnya.

Anak se muda Anindya, harus merasakan rasa sakit ini.
Begitu juga dengan Elizha yang melihat ini, gadis ini menutup matanya rapat-rapat tidak sanggup melihat kejadian didepannya.

"Anak pintar, jarumnya sudah masuk," ujar dokter Roy. "Anindya itu anak yang kuat, orang-orang kalau dimasukin jarum saat pertama kali akan nangis, tapi Anindya enggak." Dokter Roy mengelus pelan rambut Anindya.

Mesin mulai bekerja, selang yang mengisap darah Anindya, selang steril itu menuju ke  alat filterisasi atau dialyzer.

Darah terus mengalir, kondisi Anindya terlihat begitu lemah. Sementara Gisel sudah tidak ingin melihat selang itu.

"Pa-pa," rengek Anindya yang mmebuat Tio duduk ditepi kasur, mengelus pelan putrinya.

"Tenang princess, Papa pasti akan cari donor untuk kamu," ucap Tio.

"Kalian adalah keluarga yang paling hebat sepanjang sejarah yang saya temui," ujar dokter Roy.

"Makasih dokter, kira-kira seberapa lama cuci darah ini berlangsung?" tanya Tio.

"Sekitar tiga sampai empat jam," ujar dokter Roy.

"Kasian putri saya dokter, itu sakit sekali," keluh Gisel yang sudah tidak sanggup melihat ini semua.

"Hanya itu cara terbaik saat ini," jawab sang dokter.

"Bagaimana dengan pendonor? Apakah sudah ada?" tanya Tio.

"Belum, saat ini pendonor sangat susah ditemukan karena begitu banyaknya penderita saat ini Pak. Berdoa saja."

"Cuci ginjal bisa menyembuhkan?" tanya Tio.

"Maaf pak, tidak. Cuci ginjal hanya berusaha menetralisirkan ginjal, dan menghambat. Karena kapasitas ginjal sudah sangat menurun, hanya satu cara penyembuhan yaitu pencangkokan."

ANINDYA | EFEMERAL SERIES [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang