"Sesuatu akan terasa jauh lebih menyedihkan ketika benar-benar telah tiada."
Kini di pemakaman hanya tersisa Anindya, Elizha, dan teman-teman Ryan. Sejak tadi Kiren hanya pingsan dan menangis.
"Ayo Dy balik," ajak Elizha yang telah dititipkan Anindya oleh kedua orang tua Anindya.
"Masih mau disini." Anindya menaburi bunga-bunga diatas makam Ryan.
"Gak nyangka gue dia bakal pergi secepat ini," gumam Zidan yang ikut berjongkok. "Gue minta maaf sama lo yah, sering banget ngeledekin lo." Zidan juga ikut menaburi bunga-bunga.
"Gue juga Yan, udah sering ngegosipin lo, ngatain lo cringe banget kalau pacaran, tapi gue seolah-olah selalu lupain kalau lo itu selalu nolongin gue, ngehibur kita-kita. Cuma kebaikan lo selalu lo sembunyiin," ujar Aska.
"Gue apa lagi Yan, emosi gue sering banget kepancing, kayak ringan tangan banget gue sama lo," gerutu Chasel. Walau orang mengira berbicara pada orang meninggal itu seperti saja dengan orang gila, tetapi mereka semua yakin. Ryan ada didekatnya dan Ryan mendengarkannya.
Beginilah sahabat yang akan merasa kehilangan, sebaik dan seburuk apapun itu, yang namanya sahabat akan selalu dikenang dan terkenang.
Anindya mengubah posisinya menjadi memeluk batu nisan milik Ryan, menggeser poninya yang sudah menutupi kecemata dan kerundung yang ia tautkan dikepalanya.
"Gimana? Udah ketemu sama Papi lo 'kan? Badan lo udah gak ada yang sakit 'kan? Baik-baik disana, banyak bidadari loh." Anindya tertawa sumbang, beruaha menahan kembali air matanya dibalik kecemata hitam yang ia kenakan.
"Cepet banget lo pergi, gue masih mau maki lo, gue mau nendang lo, gue masih mau dibuat emosi terus," gumam Anindya.
Orang-orang yang tersisa dimakam ini ikut merasa kasihan dan sakit melihat Anindya. Mereka paham seberapa sakit yang Anindya rasakan. Namun, gadis ini selalu berusaha menahan rasa sakitnya, berusaha tegar walau rapuh.
Itulah gunanya menjadi introvert, mudah menyembunyikan air mata.
"Istirahat yah, tenang disana. Gue pamit dulu, makasih atas semuanya." Anindya menkecup batu nisan itu cukup lama, seolah menganggap bahwa itu adalah kening Ryan yang ia cium.
"Ayo El kita balik." Anindya menggenggam tangan Elizha mengajaknya keluar dari pemakaman.
"Lo hebat Dy," ujar Elizha merangkul bahu Anindya, seolah memeluknya dari samping.
"Makasih El, lo selalu ada," ucap Anindya yang kembali bersyukur dipertemukan dengan perempuan seperti Elizha.
"Iyalah gue selalu ada, kalau gue gak ada gue meninggal dong," gerutu Elizha yang mendapat toyoran dari Anindya.
"Pamali."
"Jum'at nanti gue kerumah lo 'kan?" tanya Elizha.
"Hmm."
***
Sudah banyak rumah sakit yang sempat ia pergi i, namun hasilnya tetap lah sama. Keluarga mereka hanya pasrah dan menerima, bahwa memang harus menerima cobaan ini."Intinya jangan down! You strong baby!" Tio mencium kening putrinya.
"Makasih Pa," jawab Anindya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDYA | EFEMERAL SERIES [ END ]
Teen Fiction"Bukan tidak mampu soal harta, bahkan kelebihan. Namun, fisik yang tak mampu." -Anindya Valeria Abrizam✨ Anindya Valeria Abrizam, gadis yang berwatak cuek, sarkas bin nyebelin harus mengalami proses kegagalan dalam percintaan. Hingga menguba...