18. |A W A L B A R U|

143 23 14
                                    

"Jangan ingin diperbudak dengan perasaan." -Anindya.

Sunrise masih terlihat dengan jelas diatas rumah Anindya. Gadis ini membuka horden kamarnya, agar pancaran sinar matahari bisa menggantikan lampu sebagai penerang.

Kamar Anindya, mirip dengan kamar di apartment dan hotel-hotel. Kebanyakan dikelilingi oleh kaca besar. Sehingga pemandangan lebih jelas terlihat.

Pagi ini, dirinya sudah lengkap dengan pakaian sekolahnya dan sudah bersiap untuk kesekolah. Dengan penampilan yang lumayan berbeda, rambutnya dibiarkan terurai, dan ujung rambutnya dicurly.

Jam tangan berwarna ungu di pergelangan tangannya sebelah kiri, sepatu vans dan kaos kaki setengah betis.

Anindya berjalan menuruni tangga, menghampiri Tio yang juga sudah siap untuk kekantor, dan Gisel yang sedang merapikan dasi yang Tio kenakan.

"Hei, anak Mommy cantik sekali. Gak patah hati ini?" ledek Gisel yang beralih mengusap puncak kepala Anindya secara halus, agar tidak memberantakan rambut putrinya.

"Ngapain? Gak guna Mom," ujar Anindya, berlagak begitu sombong.

"Ini baru anak Papa," ujar Tio bangga.

"Anak Mommy!" sergah Gisel tak setuju.

"Papa!"

"Mommy!"

Anindya bernafas jengah, selalu saja orang tuanya begini. "Anak Mommy dan Papa," ujar Anindya melerai.

"Ayo Pa kesekolah." Anindya mencium tangan Gisel, kemudian Gisel menciup kening Anindya.

"Belajar yang baik, kalau si buaya datang menghampiri segera hubungi suaka margasatwa, salah satu spesies buaya albino yang wajib dilindungi," jelas Gisel. Yang membuat Tio tertawa terbahak.

"Mom, kelewatan banget. Tapi nanti Dya telpon penjaganya deh," ujar Anindya yang menyetujui saran Gisel.

"Hati-hati dirumah yah, kalau ada apa-apa telpon Papa aja." Tio mencium kening Gisel cukup lama, Anindya tentu saja tersenyum melihat ini, kalau Ryan membuatnya patah hati, tapi ada Gisel dan Tio yang selalu membuatnya tersenyum.

"Siap bos. Kerja yang bener, makan malam dirumah 'kan? Kalau makan siang nanti Mommy bawa kekantor." Tio mengangguk menyetujui.

Mereka berdua telah masuk kedalam mobil dan meninggalkan area rumah. Anindya juga cukup santai tidak takut terlambat, karena hari masih terlalu pagi.

Mungkin kebanyakan orang baru bangun dan berlari terburu-buru untuk masuk kekamar mandi.

"Papa pernah nyakitin cewek?" tanya Anindya tiba-tiba, bersamaan dengan itu, Tio menoleh keputrinya. Walau Tio bukan perempuan, tetapi Tio punya perasaan yang lebih dekat dengan putri tunggalnya.

"Mungkin pernah waktu Papa masih muda, but kalau sering menyakiti cewek itu bukan lelaki yang seseungguhnya sayang. Kalau dia beneran laki-laki gak akan pernah dia tega nyakitin cewek," jelas Tio.

"Kenapa gak tega?"

"Karena kami laki-laki juga lahir dari rahim seorang wanita. Waktu Papa dampingi Mommy saat lahirin kamu, kamu tahu bagaimana Papa? Papa nangis banget lihat Mommy kesakitan. Papa jadi tahu, bagaimana rasanya Nenek kamu dulu waktu lahirin Papa di dunia ini," jelas Tio, sementara pandangannya masih fokus ke arah depan.

ANINDYA | EFEMERAL SERIES [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang