Detik berganti menit, menit berganti jam. Begitu pula hari berganti minggu lalu berganti menjadi hitungan bulan. Tak terasa sudah 2 bulan [Name] ditinggal ke Polandia oleh Ushijima.
Hari-hari mereka menjadi kian sibuk. Hanya bertegur sapa melalui pesan diwaktu-waktu senggang. Perbedaan waktu menjadi penghalang utama keduanya.
[Name] menyenderkan kepalanya di kursi. Menghela nafasnya dengan berat seraya melepaskan ID Card, Pager, dan Stetoskopnya.
"Setelah berlari kesana kemari, akhirnya kau berhenti juga [Name]-san." Tegur Narita.
[Name] sedikit menoleh. "Setidaknya ada waktu 15 menit untuk istirahat sebentar sebelum nanti memerah ASI."
Narita menarik kursi lalu duduk disamping [Name]. "Pasti rumit, ya?"
"Maksudnya?"
"Kau sedang pendidikan spesialis yang super berat dan melelahkan. Tapi juga masih harus mengurus ketiga anakmu sendirian. Kau yakin bisa?"
[Name] sontak sedikit terdiam untuk mencerna kata Narita. Karena terdiam Narita langsung meminta maaf karena tidak enak sudah menyinggung.
"A-ano, maaf bukan maksudku un–"
"Tidak apa-apa. Aku mengerti." Timpal [Name] memotong kalimat Narita. "Menjadi mahasiswa lagi sambil mengurus anak memanglah tidak mudah. Hayato masih aktif-aktifnya sekarang, Taka dan Yuki masih membutuhkan ASI eksklusif. Sempat aku berpikir untuk menyerah, tapi ada satu hal yang Wakatoshi-kun katakan padaku beberapa hari lalu."
Flashback
Ushijima nampak sekali senang melihat sosok [Name]. Tidak lain dan tidak bukan melalui Skype yang telah terinstall dalam PC masing-masing.
Keduanya saling bercerita pengalaman mereka.
"Mereka sangat baik padaku, [Name]. Tak ada yang perlu kau cemaskan. Aku juga bisa belajar bahasa negara ini." Jelas Ushijima.
[Name] tersenyum. "Aku tidak mencemaskan kehidupan sosialmu disana. Aku hanya cemas apa kau makan dengan baik? Apa kau menjaga kebersihan dirimu? Aah!! Apa kau sudah vaksin?"
"Sudah sayangku.." Ujar Ushijima tersenyum dan mengangguk. "Bagaimana dengan pendidikanmu?"
Nampak cahaya raut wajah [Name] menyurut.
"Tidak berjalan dengan baik, ya?"
Terdengar [Name] menghela nafasnya dan menggeleng. "Bukan begitu. Berjaga di rumah sakit hampir 24 jam, belum lagi gantian shift. Aku hanya merasa tidak enak merepotkan Ibu dengan menitipkan anak-anak. Apa aku berhenti saja?"
Ingin rasanya Ushijima memeluk sang istri yang nampak sekali lelahnya itu. Namun ia hanya bisa memberikan senyuman terbaiknya.
"Jangan menyerah."
[Name] menatap Ushijima. "Eh?"
"Jangan berhenti dan menyerah. Ingatkah kalau ini hanyalah secuil perjalanan yang harus kau lalui agar cita-citamu tercapai?"
"Itu memang benar."
"Tetaplah berdiri dan melangkah, meskipun itu berat untukmu. Jangan pernah berhenti." Ujar Ushijima.
Flashback end
Narita sempat tertegun dengan tekad yang [Name] miliki. Tetap tersenyum dan rendah hati dihadapan pasien. Menutupi semua rasa lelah akan beban yang ada dipundaknya.
"Kau begitu beruntung mempunyai suami yang selalu men-support pilihanmu. Apalah aku, tunangan saja gagal." Celetuk Narita.
[Name] bangkit dari kursinya lalu menepuk bahu Narita. "Jodoh sudah yang mengatur. Kalau mantanmu itu lebih memilih itu pelakor sudah jelas Tuhan menunjukkan kalau dia itu tidak baik untukmu. Tenanglah, sudah banyak lelaki yang mengantri untukmu."
Kedua wanita itu terkekeh bersama. Hingga pager milik [Name] berbunyi beep berkali-kali. Sebuah tulisan singkat tertulis code blue trauma center.
"[Name]-san rolong bawakan benerapa alat untuk resusitasi. Pasien adalah anak berusia 5 tahun." Ujar dokter Narita.
"H-Ha'i!"
.
.
.Manusia hanya bisa berencana, namun takdir bisa saja berkata lain. Anak berusia 5 tahun yang mengalami gagal jantung itu tetaplah tidak terselamatkan. [Name] yang lelah berlari kesana kemari, bergantian melakukan CPR itu keluar ke sebuah taman yang ada di rumah sakit.
"Sakit sekali kepalaku." Gumamnya seraya memgambil minuman kaleng dalam vending machine.
Nampak seorang pria bersurai kelam menunggu antrian dibelakangnya. Bunyi desisan kaleng terdengar dan diteguknya soda itu. Hingga seorang anak berlari tak sengaja menabraknya.
"Hei, bukankah anak dibawah 12 tahun dilaeang masuk?" Umpatnya pelan.
[Name] kehilangan keseimbangan. Pria yang menunggu dibelakangnya pun spontan menjadikan dirinya sebagai alas untuk [Name] mendarat.
Soda itu tumpah ke baju pria itu dan jas dokternya.
"Sh*t! Kesialan macam apa ini?" Batin [Name].
"You okay?" Ujar pria itu.
Sekian detik [Name] terdiam dan mencerna apa yang barusan terjadi. Setelah itu ia sadar ia berada diatas seorang pria. Ia segera bangkit.
"I-im so sorry, Sir."
Pria itu ikut duduk dengan kemejanya yang basah dan lengket karena soda.
Keduanya duduk di sebuah bangku taman itu. [Name] masih saja mengatakan maaf.
"Tidak apa-apa. Aku ada baju ganti." Ujar pria itu.
Merasa tak enak, [Name] memberikan sebuah penawaran.
"A-ano tuan–"
"Levi."
"Y-yes?"
Levi menggaruk kepalanya. "Cukup panggil aku Levi."
"Nah, Levi, mungkin aku bisa mencucikan kemejamu." Tawar [Name].
Pria itu—Levi menjawab. "Tidak perlu."
Setelah itu ia pergi begitu saja.
Ponsel [Name] berdering. Nampak nama Jayden muncul dalam layar ponselnya. Diangkatnya ponsel itu, belum sempat menyapa Jayden sudah mengatakan sesuatu yang membuat [Name] tercengang.
"K-Kakak! Tunggu! Bagaimana bisa Cloud Nine diretas??"
Langkah Levi sempat terhenti sekian detik setelah mendengar kata 'Cloud Nine' terlontar dari mulut [Name].
[Name] merapikan jas dokternya lalu melangkah pergi dari tempat itu. Levi pun mengambil ponselnya.
"Target menuju JB Group, Eren. Posisi siaga!" Ucap Levi dalam panggilan super singkat itu.
.
.
.Disisi lain bumi Ushijima masih sibuk dengan bola-bolanya. Baru saja ia disini ia sudah merasa nyaman, teman satu tim yang saling support, manager yang 'gercep', pelatih pro. Dia suka sekali dengan tim barunya.
Namun semua kesenangan dan kemudahan itu hanyalah bagian dari sebuah skenario belaka.
Nampak 2 orang mengamati tim itu dari kejauhan.
"Nampaknya ia mulai terbiasa disini setelah beberapa bulan. Kapan kita akan melanjutkan pergerakan, Tuan Marco?"
Pria paruh baya usia 40 tahunan itu tersenyum beringas. "Tak perlu terburu-buru. Cloud Nine cabang sudah diretas oleh hacker bayaranku."
Marco de Castell, seorang pimpinan mafia terbesar di daratan Polandia dan sekitarnya, The Tomsk.
Marco melirik arah Ushijima yang sedang mengobrol kecil dengan rekan satu timnya.
"Akan kubuat dan kuulang lagi sejarah kelam Keluarga Besar Navier."
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] USHIJIMA FAMILY : Book 2
RandomKehidupan menjadi orang tua baru bagi 3 orang anak. Apakah keduanya bisa membesarkannya? Masalah apa yang akan menimpa kehidupan rumah tangga mereka? Tidak ada yang tahu. 2nd Book From Ushijima Family