59. RAHASIA

6.7K 890 280
                                    

Keadaan Ara melemah.

Perutnya terus nyeri ketika dirinya memaksa untuk melompat dan melemparkan bola itu ke ring.

"Ayo Ara! Semangat!" teriak Aksa di kursi. Cowok itu menatap Ara dengan penuh semangat.

Ara tak mendengarkan itu. Kepalanya tiba-tiba pusing. Mengabaikan itu, ia memilih melompat kembali, karena waktu tersisa satu menit. Peluang besar untuknya, karena bola itu di tangannya.

"Lompat, Ra! Ayo," seru Aluna keras seraya berlari mendekati Ara.

Ara melompat. Satu bola berhasil ia cetak kembali. Beberapa pasang mata berdecak kagum menatap nya. Lagi-lagi Ara mengabaikan itu.

Gadis itu menoleh ke panggung utama dekat lapangan itu. Tampak terlihat beberapa donatur lain sudah duduk bersama kerabat lain. Mata Ara menyipit mencari keberadaan seseorang dan Atika.

Ara menepi ke lapangan. Ia memegang perutnya karena lemah. Jujur, ia tak bisa menyembunyikan rasa sakit itu lagi di sini. Ringisan itu membuat Aksa dengan cepat berlari ke arah Ara.

Sedangkan di ruang OSIS, Kejora baru saja datang. Gadis itu menggigit ujung kuku-kukunya karena teringat Ara di kamar kemarin. Ia menguping pembicaraan Ara dan dokter Juan di kamar kemarin. Tentang penyakit Ara, lalu mengenai penolakan Ara yang tidak mau operasi.

"Ara," panggil Kejora tanpa sadar menangis kecil. Adiknya? Punya penyakit ginjal. 

Ia tak bisa membayangkan semuanya. Masalah Ara begitu banyak, lalu mengapa dengan mudah nya adiknya itu mendapat penyakit itu? Kejora menggeleng keras, tidak! Ara, adiknya harus selamat.

Mengingat wajah pucat Ara tadi pagi, membuat Kejora panik. Ia berlari menuju lapangan. Kenapa ia baru sadar jika Ara parah? Gadis itu tak meminum obat lalu di bawa main basket? Makin memburuk, membuat Ara pasti akan merasakan nyeri luar biasa.

"Ra? Kamu kenapa?!" tanya Aksa panik saat Ara terduduk lemas.

Ara menggeleng. "Aku gak papa, kita lanjut rencana aja. Gamma udah mata-mata'in Morlan," jelas Ara keras kepala.

"Ta—"

"Aku gak tau Gamma sekarang gimana, karena rencana kita buat jebak mereka sekarang ini gak muncul-muncul," potong Ara paksa.

Ia memegang perutnya. "Cep—argh! Cepet, Sa! Ayah dalam bahaya, aku harus bantuin Ayah dari dendam mereka!"

"Tapi kamu pucat, Ra!" bentak Aksa khawatir.

Ara menepis tangan Aksa dengan kasar. Ia berdiri lalu berlari perlahan menuju gerbang.

Ia harus mencari sosok ayahnya, Ryan. Walaupun nyawa taruhannya.

"Ara, aku bilang berhenti!" teriak Aksa saat punggung Ara menghilang dari lapangan. Cowok itu berlari sebelum memberi isyarat pada sahabatnya untuk menyusul.

"ARA!"

Teriakan Kejora membuat Aksa menoleh. Kejora dengan cepat mencengkeram erat tangan Aksa dengan mata memerah. Nafasnya memburu. "Ar-ara," panggilnya menangis.

"Lo kenapa?" tanya Aksa.

"To-tolong! Dimana Ara!" bentak Kejora.

"Gue mau ngejar dia, lo mending diam di sini dulu. Biar gue yang nyusul," tutur Aksa panik, walau Kejora belum memberitahu sebab menangisnya cewek itu.

"Cepet!" histeris Kejora. "Ara, dia dalam keadaan parah," lirihnya lemah.

"Maksud lo apa?" tanya Aksa tajam melepaskan cekalan itu.

"Ara punya penyakit," jawab Kejora menatap kosong ke depan.

Syok.

Aksa terkejut. Begitu juga beberapa sahabatnya.

STARLA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang